Gus-Habib Bukan Tokoh Sentral di Sumatera, Ini Kata Asad Isma

Senin 30 Sep 2024 - 20:50 WIB
Reporter : Rizal Zebua
Editor : Rizal Zebua

SAYA merasa bersalah dengan Prof Dr Asad Isma, yang meninggal Sabtu 28 September 2024 pukul 14.00. Rektor UIN Sultan Taha Syaifuddin (STS) Jambi ini terakhir kirim youtube ke saya pada Senin 23 September 2024, sekitar pukul 23.00.


Tapi belum sempat saya baca, Asad sudah meninggalkan kita. Isi youtubenya tentang kegiatan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di kampus UIN.

BACA JUGA:Pasien Poli Jiwa RSUD Hanafie Tewas, Setelah Lompat dari Lantai 3 Gedung

BACA JUGA:Setelah Gaza dan Lebanon Kini Giliran Yaman Digempur, IDF Beralasan Buru Houthi


Sejak akhir Juli lalu, almarhum sering kirim WA dan youtube ke saya.


Di sela-sela kiriman WA dan youtube itu, saya tanya mengapa Nahdlatul Ulama (NU) cenderung lebih berkembang di Jawa, terutama Jawa Timur dan Jawa Tengah.


Sementara di luar Jawa yang lebih berkembang Muhammadiyah


Tanya demikian karena saya tahu dia aktivis NU. Bahkan dia pernah menjadi Ketua DPW Anshor Jambi.
Menurut almarhum, hal itu karena pengaruh kuat budaya. NU dengan segala tradisinya lahir dan tumbuh dari budaya Jawa yang kental.


Sedangkan di Sumatera, terutama karena persebaran masyarakat suku Minang –dengan gerakannya yang puritan dan anti-TBC-- menjadi penghalang berkembangnya NU.


TBC dimaksud adalah takhayyul, bida’h dan churafat –slogan yang dibawa Muhammadiyah dalam upaya pemurnian ajaran Islam.


“Tapi ingat Mas Ali, NU di Sumatera berkembang di pelosok-pelosok, bukan di perkoataan,” ujarnya. Di Jambi, tambahnya, terutama kawasan-kawasan yang didiami etnik Banjar dan Bugis seperti Tanjung Jabung Timur dan Tanjung Jabung Barat, kultur NU-nya kokoh.


Diskusi dengan almarhum Asas Isma lantas melebar ke masalah habib (keturunan Nabi Muhammad SAW), dan gus (panggilan untuk putra kyai pemilik/pengasuh pondok pesantren) di kalangan NU.


Tentang habib sendiri memang hanya ada di NU –yang polemiknya hingga kini belum ada ujungnya. Dalam tradisi NU di Jawa, baik habib maupun gus hingga kini masih dianggap sebagai tokoh sentral dalam pergaulan sosial.
Sedangkan di luar Jawa, terutama di Sumatera, baik habib maupun gus tidak dijadikan tokoh sentral dalam pergaulan sosial.


“Masyarakat Sumatera itu cenederung egaliter. Mereka mengutamakan kesetaraan dalam pergaulan sosial. Karena itu masyarakat Sumatera tidak menjadikan habib dan gus sebagai tokoh sentral,” papar almarhum.
Saya dekat dengan almarhum terutama ketika saya masih mengelola langsung koran Jambi Independent, Jambi, tahun 2008-an.


Sering ngobrol bareng. Tema obrolan tak jauh-jauh dari kondisi sosial-politik dan keagamaan, terutama di Jambi.
Saat itu dia sebagai dosen. Juga sebagai Ketua DPW Anshor Jambi. Komunikasi lantas putus, kemudian tersambung kembali terutama sejak Juli kemarin itu.

Kategori :