24% Anak di Indonesia Jadi Korban Kekerasan Digital: Regulasi Berbunyi, namun Perlindungan Masih Sunyi

Kamis 03 Jul 2025 - 10:10 WIB
Reporter : Surya Elviza
Editor : Surya Elviza

Laporan ECPAT Indonesia tahun 2022 mengungkapkan bahwa kasus eksploitasi seksual anak secara daring  mengalami peningkatan hampir dua kali lipat sejak masa pandemi. Kenaikan ini berkaitan erat dengan bertambahnya durasi anak mengakses layar serta lemahnya pengawasan dari orang dewasa. Sayangnya, masih minimnya pemahaman dan literasi digital menyebabkan banyak kasus tersebut tidak pernah dilaporkan.

BACA JUGA:Sejumlah Truk Angkutan Batu Bara Sempat Dikandangi

BACA JUGA:Bupati Hurmin Resmikan Sistem Penerimaan Murid Baru

Ketika Regulasi Hanya Terdengar di Forum, Bukan di Lapangan

Secara normatif, Indonesia telah memiliki berbagai perangkat hukum yang dapat dijadikan landasan untuk melindungi anak di dunia digital. Beberapa di antaranya adalah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), serta Peraturan Menteri Kominfo Nomor 20 Tahun 2016 mengenai Perlindungan Data Pribadi. Meskipun regulasi tersebut mencakup aspek penting perlindungan digital, pelaksanaannya di lapangan masih menemui banyak kendala. 

“Kerangka hukum yang ada belum mampu mengikuti dinamika dunia digital yang terus berkembang pesat. Penanganan kasus masih lamban, aparat penegak hukum belum memiliki pelatihan yang memadai, dan sistem pelaporan belum dirancang secara ramah anak,” jelas Irna Nurlina, peneliti keamanan digital dari UIN Jakarta. Ia juga menambahkan bahwa dalam banyak kejadian, pelaku kekerasan digital tidak dikenai hukuman yang setimpal, sementara korban sering kali tidak mendapatkan dukungan psikososial yang memadai.

Keluarga dan Sekolah: Pilar yang Masih Rapuh

Banyak keluarga masih belum menyadari bahwa membiarkan anak menggunakan gadget tanpa bimbingan serupa dengan melepas mereka menjelajah dunia tanpa arah atau panduan. Berdasarkan studi yang dilakukan Puskapa UI pada tahun 2023, hanya 31% orang tua yang secara konsisten mendampingi anak saat beraktivitas di dunia maya, sementara hanya 12% sekolah yang telah menerapkan program literasi digital secara sistematis. Tanpa adanya lingkungan yang mendukung, anak-anak terpaksa menghadapi kekerasan digital seorang diri. Banyak dari mereka tidak tahu ke mana harus melapor, khawatir akan disalahkan, dan pada akhirnya memilih untuk tetap diam.

Solusi: Literasi Digital dan Sistem Perlindungan Terpadu

Perlindungan anak di dunia digital harus menjadi agenda bersama lintas sektor. Beberapa langkah strategis yang perlu dilakukan antara lain:

Literasi Digital sebagai Bagian Kurikulum Dasar

Pendidikan literasi digital perlu dimasukkan ke dalam kurikulum dari fase fondasi. Anak-anak harus dibekali pengetahuan tentang keamanan online, etika saat menggunakan media digital, serta bagaimana cara melapor jika mengalami kekerasan digital. Penyampaiannya pun harus sesuai usia misalnya melalui cerita, permainan edukatif, atau simulasi yang menarik.

BACA JUGA:DPRD Tanjab Timur Gelar Rapat Paripurna Mendengarkan Pandangan Umum Fraksi-fraksi

BACA JUGA:Agus Kurnia Mulai Jalani Pemeriksaan, Kasus Pembunuhan Wanita di Sebuah Kios Pupuk

Pelatihan Konsisten untuk Orang Tua dan Guru

Orang tua dan guru harus menjadi garda terdepan dalam mendampingi anak di dunia maya. Oleh karena itu, pelatihan yang berkesinambungan perlu diadakan oleh pemerintah daerah bersama Dinas Pendidikan dan lembaga perlindungan anak. Materi pelatihan mencakup cara mengenali risiko daring, mencegah anak terpapar konten berbahaya, dan langkah tanggap saat anak menjadi korban.

Kategori :