LEBIH mudah mengajari ilmu kewartawanan kepada dokter daripada mengajari ilmu kedokteran kepada wartawan. Maka saya putuskan agresif, kala itu: rekrut dokter-dokter muda. Jadikan mereka wartawan.
Begitu banyak komplain dari dokter. Soal berita terkait penyakit, obat, dan kesehatan. Tulisan wartawan dianggap begitu dangkal. Banyak salah pula. Lebih banyak lagi yang salah pengertian.
Salah satu wartawan-dokter itu hari ini, Rabu 25 Oktober, mendapat gelar profesor. Guru besar. Beneran. Dia sudah bergelar doktor tiga tahun lalu. Sebelum itu dia dokter spesialis obgyn. Dokter umumnyi dari FK Unair. Pun spesialis, doktor, dan guru besarnyi.
Namanyi: Prof Dr dr Eghty Mardiyan Kurniawati SpOG Subsp Urogin-RE. Suaminyi juga dokter. Letnan kolonel TNI-AL: Abdul Haris, dr SpBS MTrOpsla.
Waktu Eighty jadi wartawan kami dapat apresiasi besar: banyak dokter jadi wartawan. Salah tulis pun hilang. Maka kami lanjutkan kebijakan itu: para insinyur harus jadi wartawan.
Jangan hanya lulusan sospol, keagamaan, dan publisistik. Jawa Pos pernah diajak Prof B.J. Habibie ke seminar internasional aeronautika di Eropa: hanya satu-satunya wartawan yang sarjana nuklir.
Kala itu. Namanya: Agus Mustofa. Kini jadi ulama. Penulis buku tasawuf. Juru dakwah. ''Kenapa nama Anda Eighty?'' tanya saya. Tidak ada sedikit pun tanda-tanda Indo di wajahnyi.
Eighty asli Surabaya. Lulusan SMAN 5. Ayahnyi guru SD. Belakangan sang ayah tertarik belajar bahasa Inggris.
''Ayah sangat mengidolakan angka delapan. Eight. Di bulan 8 lahirlah anak wanita, saya. Jadilah Eighty,'' jawabnyi. Kalau waktu itu yang lahir laki-laki mungkin diberi nama Eightman.
Waktu pandemi lalu Eighty sudah doktor. Dia punya tugas membimbing mahasiswa-dokter untuk jadi spesialis.
Hambatan begitu besar.
Mobilitas terbatas. Tugas tambahan begitu banyak. Serba tiba-tiba. Serba darurat.
Jumlah pasien melahirkan sedikit.
Itu pun pakai penanganan khusus: melahirkan di saat Covid. Tugas pembimbingan tidak bisa lancar. Eighty punya akal: bikin maneken. Untuk praktik para calon spesialis itu. Praktik bedah caesar.
Maka tiga mahasiswa yang dia bimbing diminta bikin maneken. Kerja sama dengan Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya. ITS memang punya unit spesialisasi teknologi alat-alat kesehatan.
Jadilah maneken itu. Calon spesialis obgyn bisa praktik operasi caesar di maneken itu.
Inilah maneken pertama di Indonesia untuk praktik bedah caesar. Bahan bakunya lateks silikon. Untung ada Covid.
Selama ini spesialis obgyn belajar dengan cara melihat senior mereka melakukan bedah caesar. Lalu jadi asisten.
Sejak ada maneken mahasiswa PPDS tersebut sudah bisa pegang pisau. Kelemahan maneken ini: ketika perutnya diiris tidak bisa menyatu lagi untuk diiris oleh mahasiswa berikutnya.
Harus dilem dulu. Mereka belum menemukan bahannya. Mungkin para ahli kimia, ahli new material dan ahli modifikasi bisa membantu. Eighty diminta membuat dua lagi. Untuk FK UB Malang dan Unlam Banjarmasin. Biayanya ditanggung Kemendikbud. Hanya sekitar Rp 200 juta.