"Mahal."
Saya beri tahu: tidak boleh begitu. Sudah berani transplant harus menjaga diri. Kasihan juga pada orang yang telah menyumbangkan hati.
"Saya sehat saja," katanya.
BACA JUGA:Lonjakan Tahanan Palestina di Penjara Israel Capai Titik Tertinggi dalam Sejarah
BACA JUGA:Simak! Ini Dia 5 Tanaman Hias yang Dipercaya Bawa Keberuntungan
Setahun kemudian saya WA orang itu. Yang menjawab istrinya: "Suami saya sudah meninggal dunia," kata sang istri.
Umurnya sekitar 45 tahun.
Kemarin saya ingat-ingat namanya: tidak ingat. Saya cari nomor teleponnya: hilang.
Tadi malam saya ceritakan soal itu ke Prof Dr Toar Jean Maurice Lalisang SpB-KBD. Ia tim inti transplantasi hati RSCM/UI.
BACA JUGA:China Membuka Era Baru Kolaborasi Antariksa Global untuk Stasiun Penelitian Bulan Internasional
BACA JUGA:Jamaika Resmi Akui Palestina, Dukungan dalam Upaya Perdamaian Israel-Palestina
"Itulah problem sosial kita pak," jawab Prof Toar.
Seperti transplant terhadap Harry Bayu ini, tim RSCM sudah bisa mengerjakannya dalam operasi 14 jam. Dulu operasinya sampai 20 jam. Ada yang sampai 24 jam. Tergantung tingkat kesulitannya.
Prof Toar yang lahir di Belanda itu ternyata memang turunan dokter. Neneknya adalah dokter. Dia wanita kedua di Indonesia yang sekolah kedokteran di Stovia –kelak jadi fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Anda sudah tahu sang nenek: Anna Warrow.
Ibunya juga seorang dokter: lulusan Leiden, Belanda. Saat kuliah itulah sang ibu bertemu mahasiswa ekonomi di Amsterdam –di kampusnya Frans Seda, Radius Prawiro, dan Kwik Kian Gie. Mereka sudah saling kenal di Indonesia tapi baru jatuh cinta di sana. Kawin. Lahirlah Toar.
BACA JUGA:Kru Shenzhou-17 Sampaikan Ucapan Spesial dari Luar Angkasa untuk Hari Antariksa China!