Mindset dan Takdir: Cara Pikiran Membentuk Hidup Kita

-IST/Jambi Independent-Jambi Independent j
Pernahkah Anda mendengar ungkapan, “Pikiran membentuk keyakinan, keyakinan membentuk perilaku, perilaku menjadi kebiasaan, dan kebiasaan menentukan takdir”? Kalimat ini kerap disampaikan dalam berbagai seminar motivasi dan percakapan sehari-hari. Namun, sejauh mana pemahaman kita tentang hubungan antara pola pikir dan perjalanan hidup?
Dalam sebuah video di kanal YouTube milik Dr. Jiemi Ardian, psikiater yang dikenal aktif mengedukasi publik mengenai kesehatan mental, dijelaskan bahwa pikiran manusia adalah buah dari adaptasi terhadap pengalaman hidup dan realitas. Menurutnya, pikiran bukanlah tombol lampu yang bisa dimatikan atau dinyalakan sesuka hati. Ia ada karena alasan—sebagai bentuk perlindungan, respons terhadap trauma, atau hasil dari lingkungan sosial yang membentuknya.
Ketakutan dan Pola Berulang
Salah satu contoh yang diangkat adalah rasa takut ditinggalkan dalam hubungan. Ketika seseorang merasa takut kehilangan, ia bisa jadi memilih untuk meninggalkan terlebih dahulu demi melindungi diri. Pola ini, jika terus diulang, akan memperkuat keyakinan negatif bahwa “semua orang pasti akan meninggalkan saya.” Alhasil, pola pikir ini membentuk realita yang ia alami sendiri.
BACA JUGA:Bupati Batanghari Resmikan Masjid Nurul Islam di Kelurahan Terusan
Budaya Kompetisi dan Pikiran Negatif
Di masyarakat kita, budaya membandingkan dan bersaing menjadi sesuatu yang lumrah. Mulai dari orang tua yang membandingkan prestasi anak, lingkungan yang menilai berdasarkan harta, hingga tempat kerja yang kerap sarat tekanan. Hal-hal ini secara perlahan membentuk pikiran-pikiran negatif dalam diri seseorang—pikiran bahwa dirinya tidak cukup baik, bahwa hidup adalah perlombaan tanpa akhir.
Pikiran Bukan Musuh, Tapi Pelindung
Ironisnya, banyak dari kita justru berusaha “menghapus” atau “mengganti” pikiran negatif itu tanpa memahami asal-usulnya. Padahal, menurut Dr. Jiemi, langkah pertama yang harus dilakukan adalah menghargai pikiran tersebut. Tanyakan pada diri sendiri: Kapan pikiran ini muncul? Apa fungsinya bagi saya di masa lalu? Dengan begitu, seseorang dapat memahami bahwa pikiran tersebut pernah berperan dalam menyelamatkan diri—meski kini sudah tidak lagi relevan.
Ubah dengan Penerimaan, Bukan Penolakan
Mengubah mindset bukanlah perkara menolak pikiran yang ada, melainkan mengajak pikiran itu bertumbuh. Perubahan sejati lahir bukan dari perlawanan, tapi dari penerimaan. Ketika seseorang mampu bersikap lembut terhadap dirinya sendiri, menghargai proses yang telah dilewati, maka perubahan yang terjadi pun menjadi lebih berakar—bukan sekadar tempelan motivasi sesaat.
Akhirnya, cara kita memperlakukan pikiran dan emosi menjadi kunci dalam menciptakan kebiasaan baru, keyakinan baru, dan membuka ruang untuk takdir yang lebih baik. Pikiran, pada dasarnya, bukanlah penghalang. Ia adalah bekal yang menunggu untuk dibimbing ke arah yang lebih sehat.(*)