Polemik Lahan Sawit di Desa Betung, Kemas Ismail: Lihat Dulu Dasar Hukumnya

ATURAN : Polemik lahan sawit yang ada di desa Betung antara pemerintah desa dan perusahaan.- Ilustrasi /Jambi Independent-Jambi Independent
MUAROJAMBI — Kemas Ismail Azim, angkat bicara terkait polemik permintaan lahan kebun kelapa sawit oleh Pemerintah Desa Betung kepada salah satu perusahaan yang beroperasi di wilayah tersebut.
Saat dikonfirmasi, mantan Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kabupaten Muaro Jambi, yang juga tergabung dalam tim terpadu (Timdu) Pemkab Muarojambi, menyatakan bahwa dirinya belum menerima surat resmi dari Pemerintah Desa Betung terkait permintaan tersebut.
Namun ia menilai, secara prinsip, permintaan pembangunan kebun kelapa sawit seluas 20 persen dari total luas Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan adalah hal yang sah.
“Permintaan itu boleh saja, tapi perlu dilihat lebih dulu mana yang lebih dulu ada—perusahaan atau peraturan yang mengatur kewajiban 20 persen tersebut. Karena peraturan tidak bisa berlaku surut,” jelasnya, Senin 13 Mei 2025.
BACA JUGA:239 JCH Sarolangun Bertolak ke Kota Jambi
BACA JUGA:Dewan Segera Panggil Pemilik Villa Bukit Diza
Menurutnya, jika perusahaan sudah berdiri sebelum aturan itu diundangkan, maka tidak ada kewajiban langsung bagi perusahaan untuk menyerahkan lahan. “Dalam kasus itu, perusahaan baru diwajibkan bermitra jika mereka memperpanjang izin setelah aturan berlaku,” tambahnya.
Namun, apabila peraturan telah terbit terlebih dahulu, dan kemudian perusahaan berdiri di lokasi tersebut, maka perusahaan memang wajib memenuhi permintaan kerja sama sebagaimana dimaksud dalam peraturan tersebut.
Lebih lanjut, Kemas Ismail juga menyebut bahwa permasalahan serupa pernah terjadi sebelumnya di Kabupaten Muaro Jambi, tepatnya antara masyarakat dan PT EWF.
Dalam kasus itu, PT EWF tidak diwajibkan memenuhi permintaan masyarakat karena perusahaan berdiri lebih dahulu sebelum adanya aturan tentang pembagian lahan untuk masyarakat.
“Kasus seperti ini bukan yang pertama. Dulu masyarakat juga meminta kebun sawit dari PT EWF, tapi waktu itu perusahaan berdiri lebih dulu daripada aturan keluar,” tuturnya.
Sebagai solusi agar tidak terjadi konflik berkepanjangan antara perusahaan dan masyarakat, Kemas Ismail mengimbau agar masyarakat memahami terlebih dahulu dasar tuntutan mereka. Ia menekankan pentingnya dialog dan musyawarah untuk menghindari konflik horizontal.
Dalam hal tapal batas desa, Kemas Ismail juga memberikan penjelasan. Ia menegaskan bahwa meskipun lahan kini masuk ke wilayah administratif Desa Betung, hal itu tidak serta-merta mengubah status kepemilikan lahan.
“Kalau lahan itu sekarang masuk ke Desa Betung karena ada penegasan tapal batas, itu tidak berarti hak kepemilikannya hilang. Pemilik lahan cukup memperbarui administrasinya ke pemerintahan desa yang baru,” ujarnya.