Ganbai Ganbai

Dahlan iskan--
Aturan dua jenis sumpit itu berlaku sejak ada wabah SARS di Tiongkok. Lalu kian membudaya setelah ada Civid-19.
Setiap ikut makan besar seperti itu saya menaruh hormat pada mereka: tidak ada menu daging babi di atas meja. Padahal saya sudah sampaikan: silakan sediakan daging babi, asal saya diberi tahu yang mana yang daging babi.
Mereka tetap tidak mau. Masih banyak daging lain yang bisa disajikan: sapi, domba, kelinci, ayam, bebek, angsa. Tapi untuk minuman keras mereka tidak punya pilihan lain: harus minum. Harus banyak. Harus bertambah-tambah.
Gelas paling kecil tadi –seukuran jempol bayi– adalah gelas untuk minum 白酒. Minuman dari botol Motai dituang dulu ke gelas kaca berbentuk teko. Isinya kira-kira 150 cc. Dari situ baru dituangkan ke gelas kecil. Siap bersulang.
Yang pertama mengajak bersulang haruslah yang duduk di “kursi ketua”. Meski bentuk kursinya sama, dan mejanya bundar, kami sudah tahu yang mana yang disebut “kursi ketua”. Yakni yang –agak sulit menjelaskannya.
Sabtu malam itu saya diminta duduk di kursi ketua. Saya menolak. Dipaksa. Untung tamu lain segera datang: mantan duta besar Tiongkok di Indonesia. Saya pun selamat.
Tapi hari berikutnya, Minggu malam kemarin, saya dipaksa lagi. Juga menolak. Saya bukan siapa-siapa lagi, kata saya. Tapi tetap saja dipaksa.
Saya mencoba ganti memaksa tamu lain. Dia lebih pantas dari saya. Dia adalah ketua tim dokter yang merawat saya usai operasi ganti hati 18 tahun lalu. Saya harus menghormati dia.
Dia tidak mau. Saling tolak. Akhirnya voting informal. Saya kalah.
Berarti sayalah yang harus pertama berdiri mengajak semua tamu bersulang. Saya harus mengawalinya dengan “pidato” kecil mengapa kita harus bersulang. Agar persahabatan abadi. Agar semuanya sehat. Agar semuanya dikaruniai kebahagiaan. Agar hidup kian makmur. Agar... Ucapkan apa saja yang penting untuk kebaikan bersama.
Tentu saya bisa mengucapkan semua itu. Sudah sering menyaksikannya. Tinggal meniru. Tapi saya tidak bisa memegang gelas kecil –meskipun sebagai bentuk pura-pura.
Saya pun minta maaf karena tidak minum minuman keras. Sebenarnya itu tidak sopan tapi mereka memaklumi.
Maka saya angkat gelas berisi jus. Mengajak mereka bersulang. Ketua dokter di sebelah saya angkat gelas kecil berisi minuman keras. Pun beberapa dokter lainnya. Dua orang lagi angkat gelas jus –saya sempat meliriknya sesapuan.
Setelah “pidato kecil” saya pun berseru: "Ganbai!” pertanda saya mengajak mereka bersulang.
"Ganbai!!!,” sahut mereka. Lalu kami pun saling menabrakkan gelas: Ting! Ting! Ting! Barulah meneguk isinya.