Jurnalis, Pilar Demokrasi yang Terlupakan di Hari Kemerdekaan

PT Sinar Sentosa Primatama (Sinsen) Main Dealer sepeda motor Honda di Provinsi Jambi menggelar workshop bedah teknologi New Honda Scoopy bersama puluhan jurnalis di BTS Cafe & Eatery Jambi, Selasa 17 Desember 2024.-IST/ Jambi Independent-

JAMBI, JAMBIKORAN.COM – Seiring 8 dekade perjalanan atau tepatnya 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia ini, bagaiaman kondisi pers hari ini?.

Tentu, jurnalis sebagai aktor senyap dalam demokrasi, masih menjadi ujung tombak dalam menjaga nalar publik.

Mereka bukan tentara yang mengangkat senjata, tapi mereka bertempur di medan informasi, memegang mikrofon, kamera, dan pena sebagai alat perjuangan.

Dalam sejarah bangsa, media telah memainkan peran vital. Dari pamflet perjuangan, siaran radio bawah tanah, hingga koran nasional, informasi telah menjadi senjata revolusi.

Para wartawan seperti Rosihan Anwar dan Adam Malik bukan sekadar pencatat sejarah, melainkan bagian dari barisan perjuangan.

Kini, “penjajahan” berganti rupa. Bukan lagi agresi fisik, tetapi serbuan disinformasi, polarisasi politik, dan algoritma media sosial yang mengaburkan kebenaran.

Herri Novealdi, ahli pers asal Jambi yang juga anggota Dewan Pers, menegaskan bahwa jurnalis hari ini menghadapi tantangan baru: fragmentasi informasi.

“Kita hidup di era kecepatan, bukan lagi keakuratan. Banyak media tergoda pada popularitas, bukan pada prinsip kebenaran,” ujarnya.

Ia menilai jurnalisme yang ideal adalah yang berpihak pada kemanusiaan dan kebenaran, bukan sekadar mengejar trafik.

“Jurnalis harus tetap independen, tapi juga peka terhadap kebutuhan sosial,” tambah Herri.

Istilah “pers sebagai pilar keempat demokrasi” bukan klise belaka. Di tengah kekuasaan yang bisa saja menyimpang, jurnalis hadir sebagai pengimbang.

Ketika bekerja dengan etika dan integritas, mereka menjadi cahaya bagi publik yang haus informasi terpercaya.

Namun tugas ini semakin berat. Dari tekanan ekonomi industri media, hingga ancaman kekerasan di lapangan, jurnalis berhadapan dengan tantangan nyata.

 Di sisi lain, publik kerap termakan hoaks dan enggan memverifikasi informasi.

Media sosial telah membuat semua orang bisa menjadi "jurnalis instan", tetapi tanpa etika jurnalistik, kebebasan ini justru menjadi bumerang.

Indonesia adalah negara besar dengan ratusan budaya dan bahasa. Media menjadi ruang bersama untuk menyatukan perbedaan, menjaga harmoni dalam keberagaman.

Setiap liputan jurnalis adalah dokumentasi sejarah yang tak ternilai, dari musibah nasional, pemilu, hingga kisah heroik masyarakat biasa.

Dalam usia kemerdekaan yang ke-80 ini, kita diajak merenung: bangsa merdeka bukan hanya yang bebas dari penjajahan fisik, tetapi yang mampu berpikir kritis, terbuka, dan menghargai informasi yang sahih.

Itulah sebabnya, kemerdekaan pers adalah syarat mutlak bagi demokrasi yang sehat. Tanpa jurnalis yang merdeka, kebenaran bisa terkubur, dan sejarah bisa dimanipulasi.

Jadi, saat kita mengucap “Merdeka!”, jangan lupa bahwa di balik pekik itu ada mereka yang bekerja dalam senyap — para jurnalis, penjaga nurani bangsa.(*)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan