Kemenhut Siapkan Peraturan Turunan Perkuat Tata Kelola Karbon

Wakil Menteri Kehutanan (Wamenhut) Rohmat Marzuki memberi pemaparan dalam sesi Ministerial Dialogue bertajuk "Accelerating Climate Action through Inclusive and Integrated National Policies" di Paviliun Indonesia, COP30 UNFCCC di Belem, Brasil, Senin (10/1-FOTO ANTARA-

JAKARTA,JAMBIKORAN.COM - Kementerian Kehutanan (Kemenhut) terus memperkuat tata kelola perdagangan karbon melalui penyusunan empat peraturan turunan untuk memastikan integritas, transparansi, dan efektivitas implementasi nilai ekonomi karbon (NEK) di sektor kehutanan.

 

Wakil Menteri Kehutanan (Wamenhut) Rohmat Marzuki, dalam keterangannya di Jakarta, Selasa, menegaskan keempat regulasi ini akan menjadi landasan hukum yang kokoh untuk membangun pasar karbon yang kredibel, transparan, dan inklusif.

 

"Kementerian Kehutanan sedang menyiapkan empat peraturan turunan untuk memperkuat tata kelola pasar karbon," ujar dia dalam sesi Ministerial Dialogue bertajuk "Accelerating Climate Action through Inclusive and Integrated National Policies" di Paviliun Indonesia, COP30 UNFCCC di Belem, Brasil.

 

Keempat peraturan turunan yang disiapkan tersebut, yaitu revisi Permen 7/2023 tentang tata cara perdagangan karbon sektor kehutanan, Permen 8/2021 tentang zonasi hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan pada kawasan hutan lindung dan produksi,

 

Kemudian, revisi Permen 9/2021 tentang pengelolaan Perhutanan Sosial, serta penyusunan peraturan baru tentang pemanfaatan jasa lingkungan di kawasan konservasi.

 

Lebih lanjut, Wamenhut menjelaskan terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) No 110/2025 tentang Nilai Ekonomi Karbon menjadi tonggak penting yang menegaskan peran strategis sektor kehutanan Indonesia sebagai penyedia kredit karbon berintegritas tinggi.

 

Perpres tersebut, tambahnya, memastikan bahwa manfaat dari pasar karbon tidak hanya mendukung pencapaian target iklim nasional, tetapi juga memberikan keuntungan nyata kepada masyarakat melalui perhutanan sosial dan rehabilitasi lahan kritis.

 

"Dengan demikian, masyarakat yang menjaga dan mengelola hutan berhak menikmati pendapatan dari upaya pelestarian yang mereka lakukan," kata Rohmat.

 

Wamenhut menegaskan pentingnya inklusivitas dalam pengelolaan hutan. Hingga 2025, sebanyak 8,4 juta hektare telah dialokasikan sebagai perhutanan sosial yang memberikan manfaat bagi sekitar 1,4 juta rumah tangga dan menciptakan 5,6 juta lapangan kerja hijau.

 

Untuk memperkuat akses pembiayaan, Kemenhut bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah memasukkan Perhutanan Sosial ke dalam Taksonomi Hijau Nasional, selain itu, satuan tugas hutan adat telah memfasilitasi pengakuan 70.688 hektare hutan adat, dengan target 1,4 juta hektare pada 2029.

 

Pada kesempatan itu Wamen menyatakan bahwa Indonesia siap menjadi pusat pasar karbon global, dengan kredit karbon berkualitas tinggi yang tidak hanya mendukung ambisi iklim dunia tetapi juga menumbuhkan kemakmuran masyarakat lokal.

"Hutan kita adalah reservoir hidup yang menopang keanekaragaman hayati, air, energi, dan masa depan kita bersama," ujarnya.

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan