PENDIDIKAN RUHANI BERBASIS KECERDASAN RUHIOLOGI (Sebuah Tawaran Pencapaian Tujuan Pendidikan Nasional)
Iskandar, S.Ag.,M.Pd.,M.S.I.,M.H., Ph.D-jambi independent-Jambi Independent
Pendahuluan
Visi para founding fathers Indonesia menetapkan tujuan pendidikan nasional berlandaskan filosofi transedental (Dimyati et al., 2021; Badawi, 2008) tertuang secara eksplisit dalam undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional dengan mengedepankan dimensi spiritualitas yang kuat dan sangat tegas yaitu mewujudkan peserta didik Indonesia yang memiliki iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan memiliki akhlak dan etika yang meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Melihat tujuan pendidikan nasional Indonesia yang begitu sangat mulia, tentunya agak miris jika dihubungkan dengan realita sosial yang terjadi.
Pendidikan nasional bertujuan untuk meningkatkan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia, merupakan aspek kebutuhan dasar semua warga negara, sehingga mereka setidaknya mendapat Pendidikan nilai-nilai religiusitas yang kuat. Walaupun mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, Indonesia bukanlah Negara Islam. Namun dalam praktek penyelenggaraan pendidikan muatan kurikulum secara formal masih secara totalitas berfokus nmengembangkan potensi dimensi fisik melalui kecerdasan otak dan emosi serta ketrampilan peserta didik, namun kurang melatih domain kecerdasan ruhani yang berbasis transedental. Masalah inilah yang melatar belakangi penulis untuk merekonstruksi pencapaian tujuan Pendidikan nasional yang berbasis transendental sehingga bangsa menjadi bertanggung jawab penuh dalam mewujudkan tujuan pendidikan hakiki (Noor, 2018).
Pembahasan
Formulasi pencapaian tujuan pendidikan nasional dalam praktiknya lebih dominan melatih alam pikiran meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotor dengan pendekatan paradigma Intellectual Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ) dan Spiritual Quotient (SQ) (Sutarman et al., 2017). Namum demikian, dalam prakteknya masih kurang melatih domain rohani peserta didik yang berbasis filosofi transedental.
BACA JUGA:Bupati Batanghari MFA Dan Wabup Bakhtiar Sholat Ied di Masjid Almuwazzhapin
BACA JUGA:Pj Bupati Bachyuni Salat Ied di Mesjid Al Arbor
Berdasarkan kebijakan pendidikan nasional secara antologi dipengaruhi oleh konsep dikotomis pendidikan umum dan Islam, kebijakan Pendidikan umum lebih diperangaruhi oleh konsep Pendidikan Barat yang melihat peserta didik sebagai sosok yang merdeka dengan potensi yang dimilikinya, sedangkan konsep Pendidikan Islam (Timur) memandang peserta didik adalah Makhluk Allah dan social yang memiliki potensi sesuai fitrahnya (Mustafa: 2007).
Konsep dasar dalam model kecerdasan IQ, EQ, dan SQ dan ESQ masih memanfaatkan dasar kecerdasan material (otak), bukannya didasarkan pada kecerdasan immaterial (ruh). Akibatnya, kita tidak dapat mempertimbangkan istilah 'roh' (hasil spiritual) dan ruh (ruhani quotient) sebagai satu dan sama. Tidak seperti 'roh', menurut Islam, ruh tidak pernah dan tidak akan pernah bisa dipisahkan dari aspek keilahian (Al-Jauziyah, 2015). Dengan kata lain, ruh harus melibatkan peran Tuhan (Aminrazavi, 2016).
Hal ini sangat berbeda dengan istilah 'spiritual' dalam konsep SQ, yang tidak terkait erat dengan agama dan keilahian. Dengan demikian, Ruhani Quotient (RQ) melampaui Spiritual Quotient (SQ). Perbedaannya adalah dalah bahwa SQ menggunakan istilah God Spot sebagai pusat kecerdasan, sementara RQ memilih untuk menggunakan istilah God Light sebagai kecerdasan ruh (Ushuluddin et al., 2021).
Pemahaman tentang kecerdasan manusia yang berkembang dalam konsep Intellectual Quotient, Emotional Quotient, dan Spiritual Quotient masih berakar pada paradigma pengetahuan dan pemikiran yang berbasis ilmiah. Pemahaman seperti itu belum tentu tepat, karena ketiadaan ruh akan mengakibatkan manusia menjadi tidak mampu merasakan atau merasakan apapun termasuk kecerdasan, emosi, dan spiritualitas.
BACA JUGA:Golkar Jambi Buka Ruang Nonkader Maju Pilkada
BACA JUGA:Perlu Segera Perbaikan Jalan Kawasan Pemukiman di Pesisir Kuala Jambi
Ruh adalah jawaban atas “apa”, “siapa”, atau “diri” yang dimaksud karena ada dan hadir dalam diri setiap manusia yang hidup. Meski sifatnya immaterial, ruh merupakan jawaban atas tempat dan sumber segala potensi kecerdasan yang ada dalam diri manusia (Ninla Elmawati Falabiba, 2019)