Sejak awal dia sudah memberitahukan ketegasan itu kepada jaksa dan LP. Mereka pun membentuk grup WA khusus untuk jadwal sidang.
Ketika
tulisan ini terbit, Mayasari mungkin sudah dilantik menjadi ketua Pengadilan Negeri Magetan.
Tapi, kata hakim yang lain, Probolinggo kota kecil. Tidak mungkin itu bisa dilakukan di pengadilan lain di kota yang lebih besar.
Diskusi pun ramai. Biarlah mereka saling melihat apa yang bisa dilakukan.
Ada lagi alasan tambahan: soal keharusan satu perkara ditangani hakim majelis. Tiga orang atau lebih. Tidak bisa diadili hanya oleh satu hakim. Jadwal pun kian sulit dibuat. Tiap anggota majelis bisa terkait dengan jadwal sidang perkara lain. Apa pun alasannya Mayasari sudah berhasil melakukan perubahan.
Mahkamah Agung, kata Hasanudin, terus mendorong perubahan. Termasuk mengadakan acara ini.
Saya sebenarnya ingin ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ikut bicara. Kabarnya PN Jaksel sukses melakukan digitalisasi pendaftaran dan penjadwalan sidang. Saya lupa.
Topik ringan lain yang saya ajukan adalah: mengapa orang yang sudah mengaku bersalah masih harus diadili untuk menentukan ia/dia bersalah atau tidak. Mengapa mereka yang sudah mengaku bersalah tidak langsung saja diputuskan nilai hukumannya.
Saya tahu itu tidak mungkin diubah. Aturan hukumnya mengatakan begitu. Tapi siapa tahu ada terobosan dari para ketua pengadilan di forum itu.
Seorang hakim senior angkat bicara. Namanya: Iwan Anggoro Warsita SH MHum. Ia kini menjabat Ketua PN Blitar. Iwan juga produktif dalam
menulis buku. Sudah banyak buku hukum ia terbitkan.
Iwan Anggoro menceritakan pengalamannya yang sangat menarik. Yakni saat menjadi hakim di daerah kepulauan terpencil. Jarak antar pulaunya bisa dua tiga hari naik perahu.
Salah satunya saat ia ditugaskan menyidangkan perkara di Saumlaki, Maluku Tenggara. Lokasinya sudah lebih dekat ke Dili, Timor Leste.
Untuk ke sana perlu biaya perjalanan dinas. Anggaran tidak besar. Maka perjalanan dinas itu dibatasi: hanya tiga hari. Lebih dari itu harus biaya sendiri.
Tentu hakim tidak mau bertugas pakai uang sendiri. Maka dalam tiga hari puluhan perkara bisa diselesaikan.
"Keterbatasan biaya perjalanan dinas ternyata bisa membuat perkara cepat diputuskan," katanya. Seluruh ruangan tertawa riuh.
Iwan menyimpulkan satu perkara sebenarnya bisa ditangani dengan cepat. Yang penting ada dua alat bukti. "Hakim kan punya senjata ini," katanya sambil menuding dada. "Senjata keyakinan."
Anda sudah tahu: hakim memang boleh membuat putusan berdasar keyakinannya/nyi –setelah melihat kekuatan dua alat bukti.
"Apakah cara di kepulauan itu bisa diterapkan di kota besar?” tanya saya.
"Bisa!” jawabnya mantap –semantap rasa ikan bakar di Saumlaki.
"Kan situasinya berbeda?” tukas saya.
"Tetap bisa. Asal mau," katanya. "Kalau untuk perkara pasal 362, hakim sampai mengajukan lebih dari delapan pertanyaan, pasti itu hakim bodoh!” katanya.
Anda sudah tahu pasal 362 itu apa: pencurian.