JAKARTA – Proyek penulisan ulang sejarah nasional yang digagas Menteri Kebudayaan Fadli Zon menuai kritik tajam dari Fraksi PDI Perjuangan. Kritik keras datang terutama dari Anggota Komisi X DPR RI, Mercy Chriesty Barends, yang menilai proyek tersebut mengabaikan tragedi kemanusiaan penting, khususnya peristiwa pemerkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998.
Dalam rapat kerja bersama Kementerian Kebudayaan di Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu (2/7), Mercy menyampaikan keprihatinan mendalam atas pernyataan Fadli Zon yang dinilainya meremehkan penderitaan para korban kekerasan seksual. Ia menegaskan bahwa narasi yang coba diubah justru berpotensi menyakiti para penyintas yang hingga kini masih menanggung trauma.
“Tidak satu pun korban berani bicara saat itu karena mengalami represi luar biasa. Dan sekarang, setelah lebih dari 25 tahun, sejarah itu justru diragukan ulang. Ini menyakitkan,” tegas Mercy dengan suara bergetar.
Sebagai bentuk tanggung jawab moral dan politik, Mercy menyerahkan sejumlah dokumen resmi kepada Fadli Zon, termasuk Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk Presiden BJ Habibie, dokumen dari PBB, serta hasil investigasi Komnas Perempuan. Semua dokumen itu, katanya, menjadi bukti valid bahwa kekerasan seksual dalam tragedi Mei 1998 adalah nyata dan sistemik.
BACA JUGA:Pemerintah Akan Bentuk Tim, Tentang Putusan MK soal Pemisahan Pemilu
BACA JUGA:SAH Tegaskan Tenaga Pendamping Desa Kunci Pembangunan
“Komnas Perempuan tidak bisa membuka semua data ke publik karena menyangkut martabat korban. Tapi negara tak boleh menutup mata,” ujarnya.
Meski menuai kecaman, Fadli Zon bergeming. Ia menegaskan bahwa proyek penulisan ulang sejarah tetap akan dilanjutkan sebagai bagian dari amanat bangsa.
“Masa sejarah mau dihentikan? Ini amanat Bung Karno: Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah,” kata Fadli kepada wartawan pada Selasa malam (1/7).
Menurut Fadli, proyek ini dikerjakan oleh tim sejarawan dari 34 perguruan tinggi di seluruh Indonesia dan saat ini progres penyusunannya telah mencapai 70–80 persen. Penulisan dibagi dalam tiga wilayah besar: Barat, Tengah, dan Timur Indonesia.
Namun, ia mengakui belum melihat langsung naskah final tersebut dan belum dapat memastikan apakah akan ada uji publik di DPR dalam waktu dekat.
“Kita lihat nanti, belum tahu jadwal pastinya,” ujar Fadli singkat.
Menanggapi desakan PDIP untuk menghentikan proyek, Fadli balik mempertanyakan dasar keberatan tersebut. “Ini proyek negara kok. Maksudnya pemerintah. Lalu kenapa harus dihentikan?” ucapnya.
Ia juga membantah isu bahwa sejumlah sejarawan mundur dari tim penyusun. “Setahu saya tidak ada yang mundur. Semua masih aktif. Ini dari 34 perguruan tinggi, timnya solid,” tegas Fadli.
Kontroversi ini membuka ruang perdebatan lebih luas tentang bagaimana negara menulis dan merekonstruksi sejarah, terutama yang menyangkut pelanggaran HAM dan tragedi kemanusiaan. Fraksi PDIP bersama kalangan aktivis HAM dan lembaga perempuan menekankan bahwa sejarah bukan sekadar narasi politik, melainkan juga alat untuk menghadirkan keadilan bagi korban.