Sedih Tidak

Disway--

Baik juga. Sesekali medsos memperdebatkan soal-soal yang mendasar: bisakah kebaikan datang dari semua agama. Atau hanya ada satukah kebenaran. Daripada, misalnya, medsos terus sibuk membahas soal berapa ukuran BH yang bisa membuat payudara tetap kencang.


Lebih lima jam di atas kereta cepat ini saya punya waktu membaca banyak WA yang masih terselip di bawah layar. Kemarin. Dari Shenzhen ke Fuqing. Anda sudah tahu Fuqing: kota tempat lahirnya konglomerat terbesar Indonesia, Liem Sioe Liong. Almarhum.

BACA JUGA:25 Jiwa Terdampak, Puting Beliung Hantam Rumah Warga

BACA JUGA:Ombudsman Jambi Surati Seluruh Pemda, Antisipasi Pungli Pelaksanaan CASN 2024


Salah satu WA yang terbaca itu  dari teman lama. Sesama alumni TEMP0. Juga sama-sama pengelola pesantren. Setelah dari TEMPO sama-sama pula memimpin koran. Saya ke Jawa Pos, ia ke Republika.
Namanya Ahmadie Thaha.


Sudah begitu lama saya tidak menerima kiriman WA-nya. Kini Ahmadie sibuk mengurus tiga pesantrennya.
Satu di Cirebon yang ia dirikan sejak masuk Tempo di tahun 1987. Satu lagi di Gadog, Ciawi. Dan yang ketiga di Sukabumi yang ia dirikan di saat pandemi Covid-19.


WA yang ia kirim panjang. Menyangkut agama anak Pak Iskan yang lagi viral itu.
Rupanya ia kirim WA dari Cirebon. Dari pesantrennya, Mambaul Ulum, yang punya santri mukim 1.000 orang dan  santri kalong 3.500 orang.


Pesantren itu letaknya tidak jauh dari pesantren Bina Insan Mulia (Bima) yang terkenal itu.
Ahmadie rupanya juga seperti Anda: menerima kiriman video entah dari mana. Tentang suami menantunya Pak Iskan itu.  Yang lagi viral. Lalu video lama pun, yang dulu juga viral, jadi ikut viral lagi, nebeng keviralan video agama tanpa sembahyang itu.


Tentu saya tidak mampu menjawab satu persatu WA itu. Untungnya banyak orang sudah memberikan penjelasan --seolah  mewakili saya. Salah satunya dari Ahmadie Thaha. Ia seperti tahu isi jawabannya itu pasti saya setujui.
Untuk menjawab teman-temannya itu Ahmadie tidak bertanya pada saya. Ia justru bertanya dulu ke ChatGPT.
Pertanyaan yang ia ajukan ke ChatGPT adalah: "apakah tindakan Dahlan Iskan seperti itu merupakan sembahyang atau ibadah".


ChatGPT, menurut Ahmadie menjawab begini: itu bukan sembahyang atau ibadah. Hanya sebuah ritual penghormatan.
Ahmadie sendiri alumni pesantren Al Amin, Prenduan, ”Gontor”-nya Madura. Ia angkatan keempat. Masih era harus menanak nasi sendiri. Belum ada listrik. Pakai lampu teplok.
Setelah tamat Al Amin, Ahmadie harus ”mengabdi” dua tahun, mengajar tanpa gaji. Seperti itu pula tradisi di Gontor, Ponorogo.


Setelah itu ia ingin masuk IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Atau UGM. Ditolak. Alasannya: hanya lulusan pondok --masih ikut aturan lama.


Padahal secara keilmuan banyak pun sarjana IAIN yang tidak sehebat dirinya. Sambil lontang-lantung di Yogya Ahmadie menerjemahkan kitab-kitab klasik seperti Muqaddimah karya Ibnu Khaldun. Juga Ar-Risalah karya ulama dunia Imam Syafii. Tahafut al-Falasifah karya Imam al-Ghazali. Shahih Bukhari dan banyak lagi.
Lontang lantung tapi produktif.


Ahmadie pun ke Jakarta. Ia masuk Universitas As-Syafiiyah, sampai tingkat sarjana muda. Dari situ barulah bisa lanjut kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah, Ciputat. Selesai 1996.
Di Ciputat, Ahmadie aktif di HMI. Mulai banyak pula menulis --sering dimuat di majalah yang didirikan Buya Hamka, Panji Masyarakat.


Ia juga mendiririkan kelompok studi LSI (Lingkaran Studi Indonesia). Nama LSI belakangan dipakai Denny JA dan Saiful Mujani, keduanya sama-sama rekan aktivis Ahmadie.
Di Jakarta Ahmadie kenal dengan seniman teater Amak Baljun. Diajak masuk Tempo. Satu angkatan dengan Zaim Uchrowi. Saya sudah meninggalkan Tempo saat itu --ditugaskan ke Jawa Pos.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan