Pengamat: Kemunduran Demokrasi! Wamendagri Setuju Kepala Daerah Dipilih DPRD
Wamendagri Bima Arya.--
JAKARTA - Wacana yang diusulkan oleh Presiden Prabowo Subianto mengenai pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) alih-alih secara langsung, semakin mengemuka di berbagai daerah.
Salah satu alasan utama di balik usulan itu adalah anggaran yang dianggap terlalu besar untuk pelaksanaan pilkada secara langsung.
Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto menjelaskan bahwa biaya yang diperlukan untuk mencalonkan diri dalam pilkada sangatlah tinggi.
"Bapak Presiden (Prabowo Subianto) melihat pilkada ini mahal. Boros," kata Bima di
Surabaya, Jumat, 20 Desember 2024.
Ia mencontohkan, calon legislatif (caleg) di tingkat kabupaten/kota, membutuhkan modal berkisar antara Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar untuk maju dan bisa terpilih.
Sementara itu, calon bupati atau wali kota harus menyiapkan dana antara Rp 10 miliar hingga Rp 70 miliar.
Sedangkan calon gubernur memerlukan modal yang jauh lebih besar, yaitu antara ratusan miliar hingga triliunan rupiah.
"Untuk (calon) gubernur, ini yang ngeri. Minimal, Rp 400 miliar. Bahkan ada yang sampai Rp 1,7 triliun," ungkap mantan wali Kota Bogor dua periode itu.
Menurut mantan Ketua Asosiasi Pemerintahan Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) tersebut, besarnya biaya politik itu berpotensi menimbulkan penyimpangan.
Sebab, bagaimana pun caranya, kepala daerah terpilih akan berusaha mengembalikan modal besar yang sudah dikeluarkan.
"Pertanyaannya, uangnya dari mana? Dan balik modalnya bagaimana? Makanya nggak beres ini. Nggak beres," kata dia.
Sebagai langkah untuk mengatasi masalah ini, pemerintah bersama DPR sepakat untuk membahas revisi pelaksanaan Pilkada mulai tahun 2025.
Bima Arya menyatakan, revisi UU Pilkada masih akan dibahas. Tahun depan masuk pembahasan di Komisi II karena revisi UU Pilkada masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Dalam pembahasan tersebut, ada dua alternatif yang dipertimbangkan. Pertama, mempertahankan pilkada langsung dengan perbaikan sistem untuk mencegah politik uang.
"Kedua, mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada DPRD," ujar politisi Partai Amanat Nasional (PAN) tersebut.
Pengamat Komunikasi Politik Universitas Brawijaya Verdy Firmantoro menilai bahwa pemilihan kepala daerah oleh DPRD dapat melemahkan partisipasi masyarakat secara langsung dalam proses demokrasi.
"Pemilihan melalui DPRD berpotensi mengurangi direct participation, sehingga menggeser demokrasi menjadi elitisme politik yang hanya melibatkan segelintir aktor," kata Verdy.
BACA JUGA:Pj Bupati Raden Najmi Dukung Persiapan Satu Data Indonesia
BACA JUGA:Bawaslu Dorong Revisi UU Pemilu-Pilkada