Berikan Akses Pendidikan yang Berkualitas Bagi Anak-anak Marjinal

-IST/JAMBI INDEPENDENT-Jambi Independent
Setiap anak memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, tanpa terkecuali. Namun kenyataannya, jutaan anak-anak marjinal di Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam mengakses pendidikan yang layak dan ruang bermain yang aman.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia Ubaid Matraji mengatakan, akses pendidikan masih menyakitkan bagi jutaan anak miskin di pelosok negeri.
”Benar, ada Kartu Indonesia Pintar (KIP), ada beasiswa, tetapi apakah itu cukup? Di banyak daerah terpencil, sekolah yang layak saja sulit ditemukan,” kata Ubaid.
Anak-anak miskin menghadapi minimnya fasilitas, dari buku pelajaran yang usang, ketiadaan uang seragam, uang transportasi, hingga meja kursi yang tak memadai. ”Kualitas pendidikan bagi anak miskin adalah luka menganga yang tak kunjung sembuh,” ujarnya.
BACA JUGA:Face Yoga untuk Kecantikan Alami
BACA JUGA:Rampungkan Renovasi Kompleks Latihan Carrington
Sedangkan anak-anak yang lahir dari keluarga kaya berpeluang jauh lebih besar mendapat pendidikan nonformal, kursus dan les untuk mendukung capaian pendidikan formal dan mengasah keterampilan serta kemampuan emosional dan spiritual sejak usia dini.
Maka untuk mengatasi ketimpangan akses pendidikan lahirlah sanggar-sanggar belajar untuk anak orang miskin meskipun belum memadai karena tidak adanya dukungan dari pemberintah secara maksimal.
Hal ini menjadi perhatian utama bagi Forum Pendidikan Alternatif sebagai wadah sanggar belajar, organisasi dan komunitas peduli anak, yang menyerukan komitmen bersama dari pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta untuk memastikan terpenuhinya hak-hak dasar anak-anak dari kelompok rentan.
Karena pendidikan yang inklusif dan berkualitas merupakan fondasi penting dalam membangun masa depan anak-anak. Sayangnya, anak-anak marjinal—termasuk yang tinggal di daerah kumuh dan keluarga prasejahtera—sering kali terabaikan dari sistem pendidikan formal yang berkualitas.
Selain itu, minimnya ruang bermain yang aman dan ramah anak mempersempit kesempatan mereka untuk tumbuh secara sehat, aktif, dan bahagia.
“Anak-anak dari kelompok marjinal bukan hanya membutuhkan ruang kelas, tetapi juga ruang bermain yang aman dan inklusif. Pendidikan dan permainan adalah dua aspek penting yang tak terpisahkan dalam proses tumbuh kembang mereka,” ujar Dini Larasati, ketua Pelaksana Hari Anak Nasional.
Terbatasnya ruang bermain dan olahraga menyebabkan anak-anak bermain di pinggir sungai, berimain bola di jalan raya kampung, dan bermain layang-layang di atas rel kereta api di sekitar kampung pinggir rel di Surabaya.
Walaupun ada larangan beraktivitas di rel kereta api yang sebenarnya sudah diatur Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian dalam Bab XV pasal 178 sampai Pasal 185.
Larangan itu cukup spesifik mulai dari larangan membangun gedung, membuat tempat, menanam jenis pohon, menempatkan barang di jalur kereta api sampai larangan melakukan kegiatan di jalur kereta api.
Namun, anak-anak melakukan aktivitas bermain dijalan, dipinggir sungai dan dipinggir rel kereta api karena tidak adanya ruang buat anak-anak orang miskin karena ruang itu di penuhi gedung-gedung bertingkat, perumahan dan warung kopi yang menjamur di sudut-sudut kampung.
"Maka, melalui momuntum Hari Anak Nasional kami minta akses dan ruang untuk semua anak, Forum Pendidikan Alternatif mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk beberapa hal," kata Dini.
Yakni eningkatkan investasi pendidikan di wilayah-wilayah marjinal, termasuk penyediaan guru yang terlatih, sarana belajar yang memadai, dan pendekatan pembelajaran kontekstual.
Kedua, menciptakan ruang-ruang bermain yang aman, ramah, dan mudah diakses oleh anak-anak di lingkungan padat dan miskin kota. Ketiga, mengintegrasikan partisipasi anak dalam perencanaan kebijakan, sehingga suara mereka terdengar dan kebutuhan mereka terpenuhi.
"Dalam rangka membuka ruang apresiasi terhadap anak-anak marjinal di kampung padat penduduk, maka kami akan melakukan panggung eskpresi dengan tema besar Suara Anak Kampung Membangu Negeri," ujar Dini.
Kegiatan ini diharapkan menjadi panggung alternatif bagi anak-anak untuk menunjukkan bahwa ruang berekspresi tidak hanya milik mereka yang punya privilese. (*)