BACA JUGA:Resep Puding Vanila Pisang, Dessert Praktis Ala Rumahan
"Kami memandang pasal yang multi-tafsir dan membingungkan ini menjadi alat kekuasaan untuk membungkam pers dan mengancam kemerdekaan pers," katanya.
Ketua PFI Jambi, Irma mengatakan, pada Pasal 50B Ayat 2 Huruf K yang berbunyi "larangan penayangan isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, dan pencemaran nama baik," berpotensi membungkam dan mengkriminalisasi jurnalis atau pers.
Pasal ini juga terkesan rancu sehingga dapat menimbulkan multitafsir.
"Karena itu, kami mendesak agar pasal-pasal nakal ini segera dihapuskan. Draf revisi ini juga menetapkan kewajiban sensor untuk seluruh isi siaran. Ini bertentangan dengan UU Pers karena seharusnya siaran jurnalistik tidak dikenai sensor," ujar Irma.
Sejumlah pasal dalam draf itu juga berpotensi menciptakan tumpang tindih kewenangan antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers.
Pasal 8 Ayat 1 disebutkan bahwa KPI berwenang menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran.
Pasal ini bertentangan dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, khususnya yang berkaitan dengan fungsi Dewan Pers.
"Kami khawatir, Komisi I DPR merancang draf ini demi mengutamakan kepentingan pemodal, dengan mengabaikan kepentingan publik. Karena itu, kita harus menolaknya sebelum penyusunan draf dinyatakan tuntas," kata Irma.
Ketua AJI Jambi, Suwandi mewanti-wanti KPI menjadi lembaga powerfull yang dapat membatasi kebebasan berekspresi, membatasi hak publik untuk mendapatkan informasi, hingga dapat melakukan kriminalisasi.
Apalagi perekrutan komisioner KPI tingkat pusat dan daerah rawan disusupi partai politik dan kelompok yang mengabaikan hak publik.
"Sengketa pers yang akan ditangani KPI bertentangan dengan UU Pers dan dapat digunakan penguasa otoritarianisme untuk membungkam kritik. Artinya, semakin banyak jurnalis yang akan dipenjara karena berita," katanya.
la pun mengatakan, RUU Penyiaran seharusnya dirancang dengan partisipasi publik. Namun, Komisi I DPR malah merancang RUU Penyiaran dengan tidak berpijak pada asas kepentingan publik atau masyarakat umum.
"RUU Penyiaran tidak akan mendapat penolakan dari banyak pihak, apabila prosesnya dilakukan dengan benar, yakni memberi ruang partisipasi publik. Tentu jika ingin mengatur karya jurnalistik, harus melibatkan organisasi jurnalis dan dewan pers, serta aktivis-aktivis yang konsen pada isu HAM, kebebasan ekspresi, perempuan, anak, dan kelompok minoritas," katanya.
Tidak hanya para jurnalis, masyarakat umum pun resah dengan draf RUU Penyiaran. Mereka khawatir banyak informasi penting yang tidak bisa dijangkau publik imbas larangan jurnalisme investigasi.
Padahal, berbagai kasus dan kejahatan terbongkar di tengah masyarakat karena jurnalisme investigasi dan kebebasan pers. (enn/zen)