Di hari kedua masa kampanye capres kemarin saya ke Madiun dan Magetan: ke Unipma, ke Takeran, dan ke dekat Temboro.
Di Madiun saya bersama Wali kota Dr Maidi ke Universitas PGRI. Ada seminar di situ. Bersama anggota DPR dapil Madiun Soehartono.
Saya salami Maidi: baru sehari sebelumnya mendapat gelar doktor dari Universitas Terbuka. Disertasinya tentang kebijakan publik. Maidi memang sangat fenomenal: dalam satu periode kota Madiun berubah total. Drastis. Rapi. Bersih. Indah.
Di Magetan saya menemui Pak Sigit Supriyadi di Desa Taji. Tidak sulit ke Taji. Saya sudah sering ke Temboro. Ke pusat Jamaah Tablig Indonesia itu. Lokasi Taji di sebelah Temboro.
Tiba di Taji sebenarnya saya ingin langsung ke lokasi tungku. Yakni tungku sampah ciptaan Pak Sigit. Tapi seluruh perangkat sudah berkumpul di kantor desa. Saya perlu lebih dulu menyapa mereka. Pak Sigit adalah lurah baru di Taji. Mendadak saya menebak: hari itu lagi ada yang ulang tahun –semua perangkat pakai seragam Korpri.
Ternyata saya diminta melihat bibit alpukat yang didatangkan dari Lampung. alpukat jenis Tiger. Sigit baru saja membeli 4000 bibit Tiger. ''Yang 2000 siap ditanam di 4 hektare tanah desa,'' katanya. Selebihnya akan diserahkan ke penduduk Taji: satu rumah dua bibit.
Saya pun diberi tahu letak tanah 4 hektare itu. Di depan kantor desa. Sedang diolah. Beberapa hari lagi sudah jadi kebun alpukat. ''Satu setengah tahun ke depan sudah berbuah,'' ujar Sigit.
Ia memilih alpukat jenis Tiger karena produktivitasnya tinggi. ''Saya sudah melihat sendiri di Lampung. Satu pohon bisa menghasilkan 1 ton. Setahun bisa berbuah dua kali,'' katanya.
Sigit pun berhitung. Tanah 4 hektare akan menghasilkan alpukat 2000 ton setahun. Dikalikan harga alpukat per kilogram. ''Padahal kalau disewakan hanya menghasilkan Rp 19 juta/hektare,'' katanya.
Desa Taji punya tanah 19 hektare. Semua disewa-sewakan. Sigit menghentikan penyewaan secara bertahap: tahap pertama 4 hektare dulu. Semua akan jadi kebun buah yang punya nilai tinggi.
''Kalau ditanamani buah seperti pohon-pohon itu hasilnya sedikit sekali,'' kata Sigit sambil menunjuk pohon-pohon mangga yang banyak tumbuh di desa.
Sigit masih mencari ide buah apa lagi yang punya nilai tinggi. Masih 15 hektare tanah yang menanti.
Sigit menyadari tanah Desa Taji kering. Tidak ada sumber air. Tidak punya irigasi. Maka ia harus belajar: pohon produktif apa saja yang cocok. Tidak hanya untuk kebun milik desa. Juga untuk ditanam di pekarangan penduduk. Agar warga Taji punya penghasilan lebih baik.
Saya menangkap semangat Sigit yang tinggi untuk mengubah nasib desanya. Saya mendoakannya dalam hati. Lalu mengajaknya cepat-cepat ke tungku sampah ciptaannya.
Tungku itu dibangun di pinggir desa. Di tanah yang konturnya miring drastis. Sigit memanfaatkan kemiringan tanah itu untuk mempermudah aliran sampah.
Sampah ditumpahkan dari truk ke lantai beton yang miring 45 derajat. Sampah itu meluncur ke bawah tanpa harus di buldozer. Lalu dimasukkan ke mulut tungku. Dijejalkan pakai tongkat. Masuklah ke tungku.
Posisi tungkunya lebih rendah lagi. Memanfaatkan tanah miring yang lebih bawah. Saya pun turun. Melihat bagian bawah tungku. Semua sama dengan apa yang sudah saya tulis di Disway pekan lalu (lihat Disway 21 November 2023: Tungku Sigit
).
Sayangnya kemarin itu lagi tidak ada setoran sampah. Sampahnya sudah habis dibakar. Tunggu kedatangan sampah baru dari pondok pesantren Temboro.
Tungku itu sudah lima hari mati. Tapi dalamnya masih sangat panas. Kalau hari ini ada sampah datang bisa langsung dimasukkan tungku. Masih bisa langsung terbakar. Panas di dalam tungku masih tinggi.
Tentu tidak semua daerah punya tanah dengan kontur seperti di Taji. Berarti tungkunya harus dibangun di tanah datar. Posisi mulut tungku menjadi sangat tinggi. Sampah harus dinaikkan untuk bisa masuk mulutnya. ''Bisa dinaikkan pakai skru (screw conveyor),'' kata Sigit. Berarti harus ada tambahan alat penarik sampah.
Saya lihat tungku sampah ciptaan Sigit ini jalan keluar untuk kota-kota di Indonesia. Bukan untuk desa seperti Taji –yang sampah rumah tangganya sudah jadi pupuk di rumah masing-masing.
Tungku Sigit lebih banyak nganggur. Apalagi kalau sedang tidak ada kegiatan besar di pondok Temboro. Sesekali Temboro memang didatangi puluhan ribu jamaah selama satu minggu. Sampahnya banyak sekali. Lokasi tungku Sigit hanya sekitar 300 meter dari pintu belakang pondok.
Saya lihat beberapa pekerja sibuk di sebelah tungku. Banyak plat baja lagi dirangkai. Rupanya Sigit sudah dapat pesanan. Dua tungku untuk Probolinggo dan satu tungku untuk pondok modern Gontor Ponorogo.
''Yang untuk Probolinggo seminggu lagi sudah bisa jadi,'' katanya. Sigit akan ke Probolinggo saat pemasangan nanti: menyupervisi tenaga yang mengerjakan di sana.
Plat bajanya dirangkai di Taji. Bata merahnya dibeli dari Desa Winong –terkenal sebagai produsen genteng bermutu. ''Saya harus pilih sendiri batanya. Tidak boleh bata yang dicampur sekam. Tidak bisa tahan lama,'' kata Sigit.
Ternyata justru Probolinggo pemakai pertama Tungku Sigit. Bukan Magetan. Begitulah dunia: pun boneka kayu beranak boneka kayu. Sangat terkenal di Rusia sebagai boneka Rusia. Saya malu ketika membelinya di Rusia dan ketahuan oleh pemilik pabrik yang membuatnya di Surabaya. (Dahlan Iskan)
Kategori :