Ada Dugaan Maladministrasi di RSUD Raden Mattaher BPRS Lakukan Penyelidikan

Minggu 22 Dec 2024 - 20:55 WIB
Reporter : Jennifer Agustia
Editor : Rizal Zebua

JAMBI - RSUD Raden Mattaher, kembali dilanda masalah. Kali ini, ada dugaan  maladministrasi yang dilakukan oleh salah satu dokter ortopedi di RSUD milik Pemprov Jambi tersebut.

Maladministrasi tersebut, berujung mengorbankan salah satu pasien, dari keluarga tidak mampu yang berasal dari Kadang Pudak, Kecamatan Kumpeh Ulu, Kabupaten Muarojambi.

Dia adalah Kualam, pria paruh baya berusia 59 tahun, yang berprofesi sebagai petani, harus rela kehilangan harta bendanya, termasuk menjual seluruh tanah, untuk biaya pengobatan. Padahal, dia adalah pasien BPJS kelas III.

Kualam menceritakan, kronologis kejadian yang menimpa dirinya, hingga kini dirinya nyaris lumpuh dan harus duduk di kursi roda.

“Awalnya saya terpeleset saat mengeluarkan motor, motor menimpa kaki saya, awalnya terasa nyeri namun saya masih bisa bekerja di kebun,” kata Kualam, Sabtu (21/12).

BACA JUGA:Wamen Perdagangan Dorong UMKM Jambi Masuk Pasar Global

BACA JUGA:Merangin-Kerinci Berpotensi Banjir Perkiraan Cuaca Awal Tahun 2025


“Lantaran masih terasa nyeri, saya melakukan pengecekan di rumah sakit Bhayangkara, kemudian saya dirujuk ke RSUD Raden Mattaher Jambi untuk operasi karena di sana tidak ada alatnya. Tawaran mereka saya terima, karena saya mau sembuh,” lanjutnya.

Selang satu hari dirawat di RSUD dari tanggal 22 November 2024, Kualam ditawarkan oleh salah satu dokter yang bagian bedah untuk melakukan operasi, dengan alasan sendi lututnya sudah habis dan menipis.

“Di situ dokter menawarkan kepada saya untuk memesan alatnya yang di pesan dari Cina, seharga Rp 35 juta dengan diskon Rp 1 juta dan dibayar Rp 34 juta, itu tidak bisa ditanggung oleh BPJS katanya, karena saya menggunakan BPJS kelas 3,” jelasnya.

Tepat pada 23 November 2024 Kualam melakukan operasi ganti sendi tungkai bawah atau pengangkatan tempurung sendi lutut kaki bagian kiri.

Selamat berobat, ia mengaku ada beberapa kali dilakukan operasi baik pemasangan maupun pelepasan dan pembersihan alat tersebut, dengan waktu selama 8 bulan lebih, dilakukan tiga kali operasi.

“Dengan adanya alat itu ya saya awalnya terbantu dan bisa berdiri seperti biasa,” ujarnya.

Namun kata Kualam, selama menjalani perawatan itu, ada darah dan nanah yang keluar dari bekas operasi.

Dokter menyarankan memanggil perawat untuk datang ke rumahnya, untuk melakukan pembersihan.

"Itu saya bayar perawatnya, rutin datang. Sekali datang, bisa Rp 150 ribu. Kemudian beli obat yang terus menerus, tidak boleh terputus. Totalnya saya sudah keluar lebih dari Rp 80 juta. Tapi malah sekarang kaki saya tidak bisa digerakkan, dan bengkak. Saya cuma ingin sembuh, dan bisa berjalan lagi. Cuma kalau harus keluar biaya lagi, saya tidak punya apa-apa lagi," katanya.

Pembayaran beli alat yang didatangkan dari Cina itu sendiri, diakui Kualam tidak dilakukan di kasir RSUD.

 Namun, ada orang suruhan sang dokter yang mengambil langsung ke pihak Kualam, secara cash dan tanpa kwitansi.

“Dia mendatangi kami dan meminta untuk di bayar cash, karena saya tidak bisa berjalan dan saya pengen sembuh. Orang suruhan dokter itu, meminta pembayaran di tempat yang sepi,” bebernya.

Sementara sang istri, Susila Suliani (58) mengatakan, biaya selama perobatan suaminya telah mencapai lebih kurang Rp 80 juta.

Untuk mendapatkan biaya tersebut ia terpaksa menjual semua hartanya mulai dari tanah kebun hingga harta lainya.

Hingga akhirnya keluarga memutuskan untuk tidak melanjutkan pengobatan tersebut karena tidak memiliki biaya lagi.

“Terakhir kami diminta untuk mengganti alat yang di pesan dari Cina, dengan harga yang sama, namun kami tak sanggup lagi,” paparnya.

“Memang dibayar secara bertahap (Rp 80 juta, red), namun harta kami sudah habis, kami bukan orang kaya,” kata Suliani menyambung penyampaian suaminya dengan nada sedih.

Ia mengatakan, saat ini sang suami tidak lagi memiliki pekerjaan, sang suami harus berdiam diri di rumah lantaran keadaan kaki yang terus memburuk dan membengkak.

"Ada juga tawaran lain dari dokter itu, kaki suami saya untuk dimatikan, nanti berjalan seperti robot tidak bisa dilipat,” bebernya.

Menyikapi persoalan ini, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Provinsi Jambi, sekaligus Ketua Badan Pengawas Rumah Sakit (BPRS) Provinsi Jambi, Deden Sucahyana mengatakan, pihaknya telah mendapatkan informasi tersebut dan dilakukan komunikasi bersama pihak RSUD Radeden Mattaher Jambi.

“Khusus untuk persoalan pak Kualam, BPRS sudah bersurat dan audiensi bersama direktur rumah sakit (RSUD Jambi, red), dan sudah ada jawabnya, namun belum secara tertulis. Intinya kita minta pihak RSUD harus bertanggung jawab karena prosesnya dilakukan di sana,” kata Deden saat di hubungi, Sabtu (22/12).

“Tentunya kewajiban RSUD tidak bisa lepas tangan begitu saja, karena ini dilakukan di tempatnya, ya RSUD harus bertanggung jawab,” bebernya.

Sementara untuk organisasi atau forum IDI sendiri, Deden menyampaikan akan ada teguran jika terbukti kebenaran itu, kepada personal dokternya.

“Sekarang kita masih pengolahan data, dan kita melakukan investigasi ke rumah sakit Mattaher, kedua rumah sakit Mitra dan ketiga ke BPJS," kata dia.

Saat ditanya apakah ada dugaan malpraktek yang dilakukan oleh oknum dokter tersebut, Deden mengatakan tidak.

“Itu bukan mal praktek, namun berkemungkinan ke sengketa medis, cuman saat ini kami belum melihat ke arah situ,” bebernya.

Ia memastikan untuk persoalan ini, pihaknya akan terus melakukan penelusuran kebenarannya dengan mengumpulkan tambahan bukti-bukti yang ada.

“Untuk jawaban keseluruhannya akan kita sampaikan pada minggu depan ya,” paparnya.

Sementara itu, Tarmizi selaku pendamping hukum dari Kuala menyampaikan, pihaknya telah melakukan somasi sebanyak dua kali kepada pihak RSUD Raden Mattaher Jambi, namun belum menerima jawaban.

Adapun jadwal somasi pertama dilayangkan pada tanggal 20 November 2024, Somasi kedua 18 Desember 2024.

Dengan tembusan Kementerian Kesehatan Ri, DPRD Provinsi Jambi, Gubernur Jambi, Kapolda dan Dinkes Provinsi Jambi.

“Jika tidak ada tanggapan, mungkin kami akan melakukan upaya hukum lainnya, dengan laporan ke kepada, kita tunggu batas waktunya, karena somasi kedua kita berikan tiga hari kerja,” kata Tarmizi, dikantornya.

Ia mengatakan untuk tuntutan ini, mengenai maladministrasi yang dilakukan pihak RSUD Raden Mattaher Jambi, dan berkemungkinan kepada Mal Praktek.

"Kita tunggu saja hasilnya yang pertama,” pungkasnya.

Sementara itu pihak RSUD Raden Mattaher Jambi, melalui Kasubag TU dan Humas RSUD Provinsi Jambi, Joni saat di konfirmasi membenarkan adanya laporan tersebut.

“Pada tanggal 10 kemarin dikumpulkan di Ombudsman, itu ada pengacara pak Kualam, ada kepala BPJS Provinsi Jambi, Direktur Rumah Sakit Umum, direktur Rumah Sakit Mitra,” kata Joni, Minggu (22/12).

 Ia mengklaim jika pihak rumah sakit sudah melakukan sesuai prosedur dan ketentuan yang berlaku.

Namun mengenai biaya di luar BPJS yang dimintai oleh oknum dokter itu, sifatnya perorangan atau individu di luar rumah sakit.

“Kalau prosedur di rumah sakit pasien BPJS Kelas 3 itu haram hukumnya minta duit, karena ini sudah ada aturannya dan dijamin, dan rumah sakit dak berani jugo, dan itu memang tidak diperbolehkan karena standarnyo ado,” ujarnya.

Meski demikian, pihaknya akan tetap menelusuri pengaduan dari korban, baik itu melalui pihak Komite Medik maupun dari pihaknya rumah sakit sendiri.

Jika terbukti maka akan ada sanksi tersendiri untuk pelaku.

“Kito peduli lah dengan pengaduan masyarkat, pelayanan rumah sakit, meskipun itu oknum ya. Pihak rumah sakit akan bertindak. Minimal nantinya ada komite yang mengeluarkan teguran, hingga saat ini belum tau hasilnya,” paparnya.

Mengenai dugaan malpraktek dan lain sebagainya, ia mengaku harus ada keputusan terlebih dahulu dari pihak yang berwajib seperti pengadilan.

“Intinya jika pak Kualam ingin meminta rujukan tetap difasilitasi oleh BPJS dan rumah sakit siap merujuknya, yang penting tidak ada yang terlantar pasien nyo,” pungkasnya. (Enn/zen)

Kategori :