Revisi UU Pemilu Bisa Cegah Pemilu Otoriter

Senin 19 May 2025 - 19:04 WIB
Reporter : Antara
Editor : Jennifer Agustia

JAKARTA - Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menegaskan pentingnya percepatan revisi Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (Pemilu) untuk mencegah kemunduran demokrasi di Indonesia. Menurutnya, perubahan ini mendesak guna mencegah Indonesia semakin terjerumus dalam praktik pemilu otoriter.

Hal tersebut ia sampaikan dalam diskusi publik mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu yang diselenggarakan oleh Partai Demokrat di Kantor DPP Partai Demokrat, Jakarta, Senin (19/5).

Mengutip data dari V-Dem Institute, Titi mengungkapkan bahwa Indonesia mengalami penurunan status dari negara dengan sistem electoral democracy menjadi electoral autocracy pada tahun 2025. Penurunan ini didasarkan pada evaluasi pelaksanaan Pemilu 2024 yang dinilai tidak memenuhi sejumlah prinsip dasar demokrasi.

"Catatan terbesarnya adalah ada pemilu, tapi prinsip pemilu yang bebas dan adil tidak sepenuhnya diaplikasikan," ujar Titi.

BACA JUGA:SAH Tegaskan Koperasi Merah Putih Mengembalikan Roh Ekonomi Indonesia

BACA JUGA:Harry Kane Top Skorer Liga Jerman

Ia menjelaskan, sebelumnya Indonesia masih dinilai memiliki pemilu yang cukup bebas dan adil, dengan hak pilih yang memadai serta adanya kebebasan berekspresi dan berserikat. Namun dalam pemilu terakhir, prasyarat-prasyarat mendasar itu tidak lagi terpenuhi secara optimal.

Titi juga menyoroti banyaknya uji materi terhadap UU Pemilu dan UU Pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK). UU Pemilu tercatat telah diuji sebanyak 159 kali, sementara UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada diuji sebanyak 82 kali.

"Jadi bisa dikatakan Undang-Undang Pemilu kita ini sudah compang-camping di sana-sini, sudah tambal sulam sana-sini," ujarnya.

Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa revisi UU Pemilu tidak boleh terus-menerus ditunda. Keterlambatan pembahasan tidak hanya mengurangi kualitas materi undang-undang, tetapi juga berisiko terhadap politisasi yudisial.

"Kalau pengadilan dan hakim terlalu dilibatkan, dia juga membuka ruang politisasi pengadilan. Karena kekuasaan akan menggunakan pengadilan untuk menjalankan agendanya sendiri," kata Titi.

Ia menekankan pentingnya revisi dilakukan jauh sebelum mendekati tahun politik agar prosesnya lebih partisipatif dan substansial, serta tidak tergesa-gesa. (*)

 

Kategori :