Sekolah diserang, fasilitas air dihancurkan, dan pasokan makanan diblokir secara sistematis. Hak-hak dasar anak seperti pendidikan, bermain, dan nutrisi layak telah dirampas.
Tidak hanya kehilangan nyawa, anak-anak yang selamat pun mengalami luka permanen, baik secara fisik maupun psikis.
Lana, anak perempuan berusia 10 tahun, mengalami perubahan warna kulit dan rambut menjadi putih karena trauma berat setelah bom meledak di dekat tempat pengungsiannya.
“Dia hanya bicara dengan bonekanya. Anak-anak lain mengejeknya. Trauma itu membuat dia menarik diri,” ujar ibunya, Mai Jalal al-Sharif.
Ahmad Alhendawi, Direktur Regional dari Save the Children, menyebut Gaza kini telah menjadi kuburan bagi anak-anak dan impian mereka.
“Ini adalah generasi yang tumbuh dengan keyakinan bahwa dunia telah meninggalkan mereka,” katanya.
Sejak Maret 2025, Israel telah menutup seluruh jalur keluar-masuk Gaza, hanya mengizinkan 86 truk bantuan per hari. Padahal, menurut Kantor Media Pemerintah Gaza, dibutuhkan sedikitnya 600 truk bantuan per hari untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk.
Akibat kekurangan tersebut, kelaparan massal kini merajalela, terutama di kalangan anak-anak dan balita.
PBB dan lebih dari 150 organisasi kemanusiaan internasional telah menyerukan gencatan senjata permanen dan dibukanya jalur bantuan tanpa hambatan.
“Tanpa gencatan senjata, akan lahir satu generasi yang hilang, generasi yang tidak pernah tahu arti aman, kenyang, atau tertawa,” tegas UNICEF. (*)