COPET-copetan belum selesai. Bahkan ada pencopet yang kemudian dirampok. Tapi semuanya akan selesai dengan damai.
Tanggal 20 Maret depan hasil Pemilu harus diumumkan.
Itulah yang terjadi di Madura. Mungkin tidak di seluruh Madura. Di beberapa tempat tidak terjadi seperti itu.
''Itu sudah biasa. Sejak dulu. Sampai sekarang,'' ujar Risang Bima SH.
''Copet yang dirampok'' tadi adalah istilah Risang untuk keadaan hilang-tambahnya suara di sana.
Sejak jadi wartawan Risang sudah terkenal pemberani. Risang adalah sedikit wartawan yang masih bekerja untuk kepentingan umum. Apa pun risikonya. Termasuk dimarahi, dibuntuti, sampai diancam dibunuh. Berkali-kali. Sampai redakturnya yang justru takut. Padahal redaktur jauh dari lokasi pejabat yang "dihantam'' Risang.
Puncaknya Risang frustrasi: tulisan ternyata tidak mengubah keadaan. Sudah ditulis tiap hari pun tetap saja pejabatnya tebal muka. Kritik sekeras apa pun tidak ada gunanya.
Maka ia berhenti sebagai wartawan.
Ia ingin membela rakyat secara langsung. Ia jadi pengacara di Bangkalan, Madura. Bukan pengacara komersial. Ia jadi pengacara yang membela rakyat. Nama kantor hukumnya: Rumah Advokasi Rakyat (RAR). Motonya, (bacalah dengan hanya lirikan mata): Fuck the System.
Risang memang masih berpegang pada prinsip lamanya: cara biasa tidak akan bisa menyelesaikan persoalan.
Di pemilu tahun ini Risang dapat pekerjaan advokasi dua caleg di Bangkalan. Yakni caleg yang tiba-tiba suaranya berkurang.
Seperti kata Risang, yang seperti itu sudah lazim terjadi. Sejak dulu. ''Saya bisa selesaikan ketika prosesnya masih di PPS.
Kalau sudah sampai KPUD tidak bisa,'' katanya.
Modusnya sama: angka di rekapan plano dihapus. Dengan tape ex. Lalu diisi dengan angka baru.
''Kita harus datang saat proses rekap belum selesai. Ketika pengawas pemilu masih pegang plano yang ada tanda tangan basah,'' katanya.