Tidak Ada Keadilan Restoratif Bagi Pelaku TPPO
--
Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md menegaskan setiap pihak yang terlibat dalam tindak pidana perdagangan orang (TPPO) tidak berhak menerima keadilan restoratif sebab terhitung tindak pidana serius.
Mahfud menjelaskan keadilan restoratif hanya diperuntukkan untuk tindak pidana yang terhitung kecil dampak kerugiannya atau tindak pidana ringan (tipiring) sehingga bisa diselesaikan dengan cara damai antara pelaku dan korban.
BACA JUGA:Ayah Kandung Bejat, Coba Perkosa dan Bunuh Anak
BACA JUGA:Makanan yang Tak Boleh Dikonsumsi Bersamaan Susu
"Tindak pidana perdagangan orang enggak ada damai, itu pidana berat, harus dijebloskan ke penjara pelakunya," katanya saat menghadiri Migrant Day di Depok, Jawa Barat, Rabu.
Menurut Mahfud keadilan restoratif merupakan warisan budaya hukum masyarakat Indonesia yang menyelesaikan masalah secara musyawarah dengan melibatkan kepala adat.
Apabila dikaitkan dengan era modern keadilan restoratif dapat diberikan misalnya kepada pelaku pencermaran nama baik, pelanggar lalu lintas.
Hal ini dikarenakan ancaman hukuman bagi pelaku pencemaran nama baik secara umum hanya hitungan bulan karena tidak sampai mengancam jiwa, begitu pula dengan pelanggar lalu lintas.
"Nah, tapi kalau kejahatan besar, pencucian uang, perdagangan orang, korupsi, pembunuhan berencana, penyelundupan, itu gak ada restorative justice-nya tidak boleh damai di situ, harus diproses ke pengadilan," tegasnya lagi.
Karena itu, Mahfud berharap para korban TPPO juga dapat tegas menolak penyelesaian jalur damai oleh pihak pelaku meskipun dijanjikan imbalan uang dalam jumlah besar.
Mahfud MD mengatakan Pemerintah Indonesia tidak akan lagi membangun rumah penampungan sementara bagi pengungsi etnis Rohingya karena beberapa alasan.
Usai menghadiri Rembuk Nasional Sahabat Saksi dan Korban untuk Indonesia 2023 di Bogor, Jawa Barat, Rabu, Mahfud mengatakan jumlah pengungsi etnis Rohingya terus bertambah karena adanya jaringan mafia tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Jaringan mafia TPPO tersebut, menurut Mahfud, dengan sengaja mengirimkan pengungsi etnis Rohingya ke Indonesia untuk kemudian diberangkatkan lagi ke negara lain.
"Ada mafia TPPO-nya, yang kemarin sudah ditangkap. Jadi, mereka sengaja ngajak ke sini (Indonesia), nanti dikirim ke mana-mana. Itu untuk jadi pekerja ilegal, dilarikan dulu ke Indonesia, karena tahu orang Indonesia baik-baik," kata Mahfud.
Akibatnya, tempat penampungan yang disediakan Pemerintah di berbagai tempat sudah penuh seiring dengan terus bertambahnya jumlah pengungsi etnis Rohingya ke Indonesia
Alasan lain, lanjut Mahfud, masyarakat lokal, seperti di Aceh, yang hidup berdampingan dengan para pengungsi etnis Rohingya juga sudah menyampaikan penolakan.
"Jadi, penampungan sudah penuh sekarang. Meskipun baik masyarakat lokalnya, seperti Aceh, itu menolak. Sehingga kami (Pemerintah) tidak bangunkan lagi, tetapi pasti demi kemanusiaan (akan) ditolong," jelasnya.
Oleh karena itu, dia mengatakan Pemerintah masih dalam tahap mengkaji terkait pencarian lokasi lain untuk menampung para pengungsi etnis Rohingya.
"Sekarang sudah ditampung sementara, tetapi yang lebih sementaranya, mungkin agak menengah, ini masih dibicarakan, dicari tempatnya, dicari biayanya, dan sebagainya," ujar Mahfud. (ant)