PUDARNYA GEMERLAP SAINS DI KALANGAN REMAJA

Monalisa Afrida, S.Pd.,M.Si-jambi independent-Jambi Independent
Beberapa waktu lalu saya merasa tergugah ketika membaca sebuah artikel yang ditayangkan oleh media nasional, bertajuk menurunnya minat generasi muda indonesia terhadap sains. Meski tidak populer, tidak mendulang banyak views dan likes, tulisan yang memuat pendapat seorang pakar sains dari universitas terkemuka ini begitu menarik sekaligus mengganggu pikiran saya hingga berhari-hari setelahnya. Terutama karena kebenaran artikel ini juga kemudian terbukti oleh fakta bahwa beberapa prodi sains di kampus tertentu terancam ditutup karena sepi peminat.
Pertanyaan yang terlintas di benak saya adalah, bagaimana jadinya apabila semua prodi sains di setiap kampus terpaksa ditutup? Apakah sains di Indonesia hanya akan tinggal sejarah, tergeser oleh keterampilan-keterampilan lain yang dianggap anak muda lebih relevan dengan dunia mereka dan lebih menjanjikan popularitas? Benarkah anak muda tidak membutuhkan sains?
Sebagai pecinta, pernah menjadi peneliti dan hingga saat ini berstatus pengajar sains pada jenjang Sekolah Menengah Atas, saya merasa perlu mengulas dan menyampaikan pendapat saya terkait hal ini di ruang publik.
Mari kita mulai dengan memastikan bahwa kita memiliki pemahaman yang sama tentang sains. Sains merupakan pengetahuan yang diperoleh melalui pengamatan terhadap alam diikuti oleh pencarian dan pengkajian mendalam atas pertanyaan yang timbul mengenai fenomena di dalamnya. Proses berpikir dalam sains meliputi (i) pembuktian hukum alam atau (ii) penemuan suatu teori yang apabila teruji akan menjadi hukum dan kerangka baru dalam proses berpikir pada tingkat yang lebih tinggi. Dengan demikian, perkembangan sains seyogyanya tidak akan pernah mencapai titik akhir sepanjang eksistensi peradaban manusia. Sains bahkan merupakan aspek fundamental dalam perkembangan teknologi.
BACA JUGA:Peluncuran Indeks Pencegahan Korupsi Daerah MCP 2025
BACA JUGA:Lubang Sama
Ironisnya, berdasarkan data yang dimuat dalam jurnal penelitian N.Z Tillah dan H. Subekti (Edusaintek, 2025), pada PISA (Programme for International Student Assessment) tahun 2023 Indonesia hanya menempati urutan ke-67 dari 81 negara anggota OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) untuk skor literasi sains. Indonesia memperoleh skor 383 dari standar rata-rata global sebesar 485. Ini berarti terjadi penurunan sebesar 13 poin dibanding PISA 2018.
Menurunnya minat terhadap sains di kalangan remaja, pada umumnya dikaitkan dengan pembelajaran sains yang dianggap belum seutuhnya dapat memperkenalkan hakikat sains kepada siswa. Beberapa pendapat mengatakan bahwa sebagian besar guru lebih banyak menyampaikan teori tanpa eksperimen, padahal, bertolak dari pengertian sains di atas, besarnya porsi teori dalam pembelajaran sains bisa dimaklumi karena rangkaian berpikir sains yang memang berlandaskan pada teori-teori yang sudah ada. Bukankah eksperimen akan menjadi kosong apabila siswa justru tidak mengerti apa yang akan mereka buktikan? Ini akan sama buruknya dengan pembelajaran teori tanpa eksperimen.
Penelitian lain seperti dimuat dalam jurnal F. Yusmar dan E. Fadilah (Lensa, 2023) mengisyaratkan rendahnya kemampuan literasi guru dan ketersediaan sarana-prasarana praktikum di sekolah merupakan faktor penyebab utama rendahnya minat siswa terhadap sains. Tapi benarkah pada awal era 2000-an ketika pelajaran kimia, fisika dan biologi masih diminati, faktor-faktor penghambat ini tidak ada?
Persepsi Remaja Terhadap Sains
Menurut hemat penulis, perbedaan paling signifikan antara remaja dahulu dan masa kini adalah persepsi mereka terhadap sains. Berdasarkan pengalaman mengajar di berbagai sekolah dengan latar belakang siswa yang berbeda-beda, saya dapat menyimpulkan bahwa sebagian besar siswa punya persepsi yang sama buruknya tentang sains. Siswa merasa memiliki keterlibatan yang terbatas dengan fenomena ilmiah dalam kehidupan nyata. Mereka lupa bahwa fenomena sains selalu mereka temui dalam kehidupan sehari-hari. Sesederhana bernapas dan membuka mata di pagi hari.
Sains juga dianggap sebagai pelajaran yang ‘abstrak’ dan ‘sulit’. Para pecinta sains dianggap ‘aneh’ dan terkadang dijauhi. Padahal keren dan pintar bisa menjadi sejalan tergantung pada individu masing-masing.
Kalah Menarik Dibandingkan Gawai
Lalu, mari kita lihat dari sudut pandang lain. Pernahkah kita mengamati, kira-kira di dalam suatu sekolah berapa orang siswa yang lebih tertarik melakukan percobaan di laboratorium dibandingkan mereka yang sibuk membuktikan eksistensinya di media sosial?