Ketika Ucapan Positif Terasa Negatif

-IST/Jambi Independent-Jambi Independent

Bagi sebagian orang, kalimat motivasi seperti "jangan menyerah", "kamu lebih beruntung dari yang lain", atau "stay positive", "be positive" mungkin bisa membantu mengusir pikiran dan perasaan negatif yang berputar di kepala mereka. 

Namun, bagi sebagian lainnya, kalimat seperti itu justru bisa menyakitkan dan memperparah kondisi emosional yang sedang dialami seseorang. Fenomena ini dikenal sebagai toxic positivity. Apakah itu? 

Toxic positivity yaitu dorongan terus-menerus agar seseorang tetap melihat sisi baik kehidupan tanpa mengakui atau memberi ruang pada perasaan sedih, marah, atau kecewa yang lawan bicara mereka alami. 

Menurut Urban Dictionary, ungkapan seperti "kalau kamu tetap positif, kamu akan mengatasi segala kesulitan yang ada" justru mengabaikan perasaan asli orang yang sedang kesulitan. 

BACA JUGA:Langkah Digital Decluttering Jika Laptop Lemot dan HP Penuh

BACA JUGA:Alasan Orang Balik Pakai HP Jadul Buat Detoks Digital

Seakan-akan perasaan negatif yang ingin diungkapkan tak tersampaikan kepada lawan bicara. Alih-alih menguatkan, kata-kata seperti itu bisa membuat orang merasa sendirian dan tidak dimengerti.

Sebagai gantinya, ungkapan yang mengandung empati seperti, "aku tahu ini pasti berat buatmu" atau "wajar kalau kamu kecewa dalam kondisi ini", justru lebih menenangkan dan menunjukkan kepedulian. 

Mengapa dorongan untuk tetap positif bisa berdampak buruk? dr. Jiemi Ardian, SpKJ, seorang pakar kesehatan jiwa menjelaskan, bahwa setiap emosi memiliki pesan penting. 

Ketika seseorang ditekan untuk menutupi atau menyangkal emosi negatif demi terlihat bahagia, emosi itu bisa menumpuk dan menyebabkan stres, gangguan kecemasan, bahkan depresi. 

Penelitian oleh Joanne V. Wood dalam Psychological Science (2009) juga menunjukkan bahwa afirmasi positif bisa berdampak negatif pada orang dengan kepercayaan diri rendah. 

Alih-alih merasa lebih baik, mereka justru merasa semakin buruk karena pernyataan itu terasa tidak sesuai dengan kenyataan yang mereka hadapi. Budaya kita pun cenderung tidak sabar dengan orang yang sulit tersenyum atau belum bisa "move on" dari peristiwa pahit.  

Barbara Held, profesor psikologi dari Bowdoin College, menyebut hal ini sebagai “tirani positif” yaitu kondisi yang menggambarkan ketika seseorang merasa buruk karena tidak bisa bersyukur atau tetap optimistis.

Paksaan untuk "tetap positif" juga bisa menimbulkan rasa bersalah atau penyalahan diri, apalagi jika seseorang merasa gagal memenuhi ekspektasi sosial untuk selalu kuat dan ceria. Ini bisa menambah beban psikis dan memperburuk kondisi mental. 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan