Marah-Marah di X, Ruang Curhat atau Jadi Pemicu Konflik?

-Ist/Jambi Independent-Jambi Independent
Pada era digital saat ini, media sosial tidak hanya menjadi ruang berbagi informasi. Tetapi juga menjadi wadah ekspresi emosional.
Salah satu fenomena menarik adalah munculnya Komunitas Marah-Marah di platform X (dulu Twitter). Komunitas itu menjadi tempat bagi pengguna untuk melampiaskan amarah.
Namun, apakah komunitas semacam itu berfungsi sebagai bentuk keluh kesah yang sehat, atau justru memperburuk kondisi mental dan sosial penggunanya?
Didirikan oleh akun @gulalism pada 24 Agustus 2022, Komunitas Marah-Marah tumbuh pesat dengan lebih dari 1.019.000 anggota aktif hingga kini.
BACA JUGA:Penyebab dan Cara Mengatasi Brain Frog
BACA JUGA:Atasi Gatal di Daerah Kewanitaan Menggunkan Herbal Alami
Komunitas itu menyediakan ruang bagi penggunanya untuk mengungkapkan kekesalan. Anggota grup menumpahkan emosi mereka terhadap berbagai aspek kehidupan. Mulai dari percintaan, pekerjaan, hingga persoalan keluarga. Tanpa harus memengaruhi linimasa akun pribadi mereka.
Didukung fitur komunitas X, komunitas itu menjadi "zona aman" bagi pengguna untuk mengutarakan kemarahan secara terbuka.
Mengapa Orang Memilih Marah di Media Sosial?
Motivasi bergabung dalam komunitas itu berkaitan erat dengan faktor psikologis dan sosial. Efek disinhibisi (hilangnya kendali) daring, atau efek ketika individu merasa lebih bebas berbicara karena tidak berhadapan langsung dengan orang lain, memungkinkan mereka mengekspresikan emosi secara lebih leluasa.
Bagi sebagian pengguna, komunitas itu menjadi ruang untuk mencurahkan perasaan yang tak tersampaikan di dunia nyata.
Bahkan ada yang mencari dukungan emosional atau validasi dari anggota lain. Komunitas itu pun tidak hanya menjadi ladang amarah. Tetapi juga tempat curhat dan berbagi cerita personal.
Keluh kesah atau Bumerang untuk Kesehatan Mental?
Secara teori, katarsis (keluh kesah) menjadi sebuah konsep pelepasan emosi untuk mencapai kelegaan psikologis dianggap bermanfaat.