DPR Belum Sikapi Putusan MK Terkait Pemilu 2029

Wakil Ketua Komisi II DPR RI Bahtra Banong.-Antara/Jambi Independent-Jambi Independent

JAKARTA - Wakil Ketua Komisi II DPR RI Bahtra Banong mengatakan DPR RI belum mengambil sikap atas putusan Mahkamah Konstitusi yang memisahkan pemilu nasional dan daerah karena waktu pelaksanaan Pemilu 2029 masih panjang.

DPR masih akan melakukan kajian dan menampung aspirasi publik secara seksama terlebih dahulu terkait putusan MK tersebut.

"Pemilu kita kan masih lama pada 2029 karena pemilunya masih lama, berarti kita punya kesempatan waktu juga cukup lama. Nah, itu kita manfaatkan, kita pergunakan kemudian untuk mengkaji lebih jauh, lebih dalam, kemudian menampung aspirasi publik," kata Bahtra di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa.

Hal tersebut diperlukan agar jalannya perhelatan pemilu mendatang terselenggara dengan lebih baik dan berkualitas demi perbaikan demokrasi Indonesia ke depan.

BACA JUGA:Konflik Thailand-Kamboja Berpotensi Ganggu Stabilitas ASEAN

BACA JUGA:PDIP Sebut Peristiwa 27 Juli 1996 Sebagai Tonggak Reformasi

"Supaya itu tadi, harapan teman-teman juga, atau harapan seluruh masyarakat agar pemilunya berjalan dengan baik, pelaksanaannya juga dengan baik, terus kemudian yang tak kalah penting adalah soal kualitas pelaksanaan pemilu itu sendiri," ucapnya.

Selain itu, Bahtra menyebut kajian dan tampungan aspirasi publik diperlukan agar penyusunan undang-undang kepemiluan dalam menindaklanjuti putusan MK tersebut dapat memenuhi ekspektasi publik.

"Mudah-mudahan sih, DPR dengan membutuhkan nanti banyak masukan dari berbagai pihak, terus kemudian pada saatnya nanti kita buat undang-undang itu tentu dengan sesuai ekspektasi publik," tuturnya.

Dia menuturkan kajian lebih dalam diperlukan pihaknya untuk mencari formulasi terkait mekanisme penundaan waktu pelaksanaan pemilu nasional dengan pemilu daerah, termasuk terkait dasar hukum pelaksanaannya.

"Memang kita membutuhkan kajian yang lebih dalam ya, termasuk soal misalnya kalau ada penundaan waktu soal pemilu lokal. Kan dasar hukumnya kan harus dicari karena di Undang-Undang Dasar kita kan menjelaskan bahwa pemilu itu dilaksanakan satu kali dalam lima tahun," katanya.

Bahtra lantas melanjutkan, "Nah, kalau ada misalnya perpanjangan jeda waktu pemilu lokal itu maka dasar hukumnya harus dicari nih formulanya supaya juga tidak melanggar undang-undang."

Sebab, lanjut dia, MK memutuskan agar pemilu nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun dan enam bulan, meski UUD 1945 menyebutkan bahwa pemilu dilaksanakan lima tahun sekali.

"Kami juga enggak mau gegabah karena kan di suatu sisi juga kan ada putusan MK ya bersifat final dan mengikat, tapi di sisi lain Undang-Undang Dasar kita menyebutkan bahwa pemilu itu dilaksanakan dalam satu kali dalam lima tahun. Nah, itu yang kita mau cari tahu formulanya," paparnya.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan