Manusia Indonesia dan Refleksi Nalar Kebangsaan

Tiga tokoh pers nasional Mochtar Lubis (tengah), Rosihan Anwar (kiri) dan Jakob Oetama (kanan) beramah tamah sebelum acara peluncuran buku Tajuk-Tajuk Mochtar Lubis yang pernah dimuat dalam Harian Indonesia Raya, di Jakarta, Jumat (7/3/1997). Peluncuran b-ANTARA-Jambi Independent
Maka, pangkal masalah yang belum terurai tersebut, menurut Mochtar Lubis, ke sanalah harus dicarikan solusi.
Pendidikan yang harus menghasilkan sikap masyarakat yang reflektif dan kritis. Lalu struktur politik yang mengedepankan demokrasi dan terhindar dari politik praktis. Serta struktur sosial yang berperan dalam pembentukan masyarakat salah satunya melalui sistem sosial ekonomi yang sehat.
Nalar kebangsaan
"Jika aku melihat wajah anak-anak di desa-desa
Dengan mata yang bersinar-sinar
(berteriak) Merdeka! Merdeka!, Pak! Merdeka!
Aku bukan lagi melihat mata manusia
Aku melihat Indonesia!"
Sepenggal puisi berjudul "Aku Melihat Indonesia" tersebut ditulis oleh Presiden pertama Indonesia, Soekarno yang tengah mengobarkan semangat dan membangkitkan cinta tanah air.
Sebagaimana puisi-puisi atau karya sastra yang tumbuh pada era 45, yang penuh gelora dan membangkitkan semangat, karya Soekarno tersebut juga sebuah propaganda agar masyarakat merasa saling memiliki dan ikut memelihara Indonesia.
Secara implisit, Soekarno berpesan bahwa masa depan bangsa ini terletak pada wajah anak-anak di desa-desa yang bisa diartikan sebagai harapan dari Soekarno yang terletak di wajah generasi setelahnya.
Kini bangsa Indonesia telah berdiri selama delapan dekade, melewati generasi demi generasi dengan arus persoalan dunia yang semakin kompleks.
Sebagai sebuah negara yang telah berumur genap 80 tahun, Indonesia masih dihadapkan setumpuk persoalan seperti kesenjangan ekonomi dan sosial, perubahan iklim, keterbukaan akses pendidikan, hingga kurangnya lapangan kerja.
Lalu seperti yang disampaikan oleh Presiden Prabowo Subianto dalam pidato kenegaraan pada 15 Agustus, bahwa kini Indonesia dihadapkan praktik "serakahnomics" yang disebutnya sebagai praktik dari para pengusaha yang mengejar keuntungan sebesar-besarnya dengan menipu dan mengorbankan rakyat Indonesia.
Lantas dengan 1001 masalah Indonesia yang menginjak usia 80 tahun ini, apakah kita telah meninggalkan watak asli manusia Indonesia seperti dalam pandangan Mochtar Lubis? Atau kita sebagai bangsa hanya berkutat pada jalan tak ada ujung?