Tidak korupsi, Itu Saja Syarat Menjadi Pahlawan Di Hati Kami
--
Namun nyatanya, banyak kasus korupsi terjadi justru karena dorongan dan tuntutan gaya hidup anggota keluarganya, seperti istri dan anak-anaknya yang sosialita. Biaya pergaulan sosialita seolah tak terbatas yang membuat nominal gaji kepala keluarga--berapa pun besarnya--tak mampu memenuhinya.
Sikap dan kondisi sosial masyarakat, bisa jadi juga menjadi pelestari perilaku koruptif. Seperti sikap masyarakat yang permisif terhadap koruptor dan mudah melupakan jejak kelamnya. Diizinkannya para mantan napi korupsi sebagai pejabat publik, misalnya, adalah salah satu contoh sikap permisif masyarakat terhadap koruptor.
Pencegah korupsi
Hakikat pemerintahan adalah pelayanan kepada rakyat. Masyarakat mengumpulkan uang dalam bentuk partisipasi membayar pajak yang dipercayakan kepada pemerintah untuk dikelola dan dikembalikan kepada warga dalam wujud pembangunan sarana prasarana umum.
Itulah mengapa tindak korupsi amat menyakiti hati masyarakat yang aktif dan patuh membayar pajak demi menjadi warga negara yang baik, dan tak semestinya masyarakat mudah memaklumi.
Kehadiran pejabat yang benar-benar bekerja, mendedikasikan diri pada pelayanan masyarakat, dan bersih dari penyimpangan, sungguh menjadi dambaan. Kita pun dengan bangga akan menyematkan gelar “pahlawan” pada sosok pujaan publik itu.
Namun untuk menghadirkan sosok-sosok pahlawan itu, tentu menjadi tanggung jawab kita bersama, mengingat adakalanya perilaku korup juga didorong oleh faktor eksternal. Semisal, kecenderungan warga mengambil jalan mudah dengan menyuap aparat untuk menebus sebuah pelanggaran. Atau bila kita memiliki anggota keluarga yang mengemban jabatan di pemerintahan, janganlah bersikap aji mumpung yang dapat menjerumuskan dia menyalahgunakan wewenang. Bisa jadi ada peran kita (warga) yang secara tidak langsung turut melahirkan koruptor.
Selain itu, ada beberapa hal yang dapat menjadi pencegah perilaku koruptif, di antaranya:
- Spiritualitas. Dalam hidup, apa pun agamanya, berlaku hukum karma. Sesungguhnya apa yang kita alami dan peroleh adalah karma kita sendiri, apakah itu nasib baik atau buruk, apakah keberuntungan atau musibah. Kita akan memetik dari apa yang kita tanam. Maka buatlah sebab yang baik untuk dapat memanen akibat yang baik pula. Sesederhana itu.
Bila setiap orang memahami hukum sebab akibat ini, seharusnya dapat berpikir beberapa kali untuk sanggup berbuat korup. Karena anak-anak yang diberi makan dari harta tidak bersih, akan tumbuh menjadi anak yang sulit dididik, nakal, dan bisa mencelakakan orang tuanya. Itu hanya contoh sebagian akibat yang bisa dialami.
- Sanksi keras. Hukuman bagi para napi korupsi di negara kita umumnya belum mampu membuat pelaku jera sehingga berlaku teori model cost-benefit. Menurut teori ini, korupsi terjadi jika manfaat korupsi yang didapat/dirasakan lebih besar dari biaya/risikonya (nilai manfaat bersih korupsi). Kombinasi dari penjatuhan pidana tinggi disertai penyitaan harta pelaku atau dimiskinkan dengan sistem denda yang besar, mungkin akan membuat orang pikir-pikir untuk melakukan korupsi.
- Pengawasan. Padahal ada Tuhan Maha Pengawas, tak ada sedikit pun suatu perbuatan yang dapat luput dari pengawasan-Nya. Namun manusia cenderung lebih takut pada pengawas yang tampak terlihat sehingga untuk menekan angka korupsi dibutuhkan sistem pengawasan berlapis baik internal maupun eksternal.
- Sistem. Banyak kasus korupsi justru berlangsung secara sistematis yang melibatkan banyak orang dalam satu entitas secara berjamaah. Dalam teori willingness and opportunity to corrupt, disebutkan bahwa korupsi terjadi jika terdapat kesempatan/peluang (kelemahan sistem, pengawasan kurang, dan sebagainya) dan niat/keinginan (didorong kebutuhan dan keserakahan).
Maka pembenahan sistem mutlak dibutuhkan untuk mempersempit celah tindak koruptif. Sistem pemerintahan berbasis elektronik (SPBE) yang tengah dikembangkan oleh Pemerintah adalah langkah revolusioner dalam transformasi birokrasi dari tradisional menuju ke efisiensi, transparansi, dan partisipasi publik yang lebih besar.
Dengan terpenuhinya faktor-faktor pencegah korupsi di atas, ikhtiar mewujudkan birokrasi bersih bukan pekerjaan yang berat. Dan, dalam sistem yang terbangun itu maka menemukan birokrat jujur tak perlu lagi melalui sayembara pencarian pahlawan karena saking langkanya. (ANTARA)