Tawaduk Thinking

Disway--

Begitu sering ke San Francisco, baru sekali ini saya ke Wisma Indonesia. Bagus sekali. Di daerah lama paling elite di San Francisco. Satu kawasan dengan rumah Nancy Pelosi, Ketua DPR yang legendaris itu.


Anda sudah tahu: kota San Francisco berbukit-bukit. Indah. Ada pemandangan teluk di sisi dalam. Ada laut di sisi luar. Seperti Balikpapan --di tahun 3024.

BACA JUGA:Hapus Foto Pacar

BACA JUGA: Dianiaya Ibu Kandung dan Ayah Tiri, Bocah 6 Tahun di Jambi Alami Luka Lebam


Wisma Indonesia berada di salah satu puncak bukitnya. Tiga lantai. Masih bisa naik lagi ke balkon di atasnya. Dari balkon itu terlihat jembatan Golden Gate terasa dekat. Pun museum Fine Art yang terkenal itu. Terlihat juga pulau Alcatraz –bekas penjara kelas berat yang jadi objek wisata.


Di saat negara sulit uang pun baiknya Wisma Indonesia ini jangan dijual. Atau bisa dijual. Bisa laku antara USD 20 juta sampai USD 25 juta. Luasnya sekitar 400m2.
Waktu dibeli dulu harganya cuma sekitar USD 250.000. Di tahun 1973. Saat menteri keuangannya Prof Dr Ali Wardhana, alumnus Universitas Indonesia dan University of California Berkeley.


Hitung sendiri harga itu sudah naik berapa ribu persen.
Saat makan siang, di lantai dua (lihat Disway kemarin: Taksi Kemudi), kami terjerumus ke topik pembicaraan yang serius. Soal critical thinking.
Soal tes masuk ke UC Berkeley yang sulit. Pun bagi calon mahasiswa yang sudah terpilih dan pintar-pintar di bidang akademisnya.


Kita punya titik lemah. Titik lemahnya satu: gagal saat tes membuat esai.
Ternyata Indonesia Emas 2045 perlu disiapkan sejak dari masalah esai. Mumpung masih 20 tahun lagi.


Diskusi di meja makan ini jadi lebih panjang. Sajian soto Lamongan, dengan isi bihun, sudah habis. Perlu tambah nasi putih, rendang, tahu sayur, dan kerupuk udang. Ups... tidak. Saya tidak makan kerupuk.
Saya puji juru masak di Wisma Indonesia. Terutama karena ia, orang Manado, bisa bikin soto Lamongan dan rendang yang enak. Alangkah sedapnya kalau ia bikin woku dan dabu-dabu.


Kelemahan dalam membuat esai kelihatannya sepele. Tidak menyangkut  ilmu dasar pilihan akademisnya. Tapi mereka yang pintar-pintar itu toh gagal di esai dalam tes masuk  UC Berkeley.
Padahal mereka sudah dilatih khusus untuk membuat esai. Satu bulan penuh. Menjelang tes masuk. Toh gagal.
Diskusi kian menarik. Mengapa kegagalan itu terjadi. Ketemulah penyebab di hulunya. Anda pun sudah tahu penyebab di hulunya itu: tidak dimilikinya critical thinking.


Anda bisa tidak setuju. Anda bisa bilang penyebabnya bukan itu. Sayangnya Anda tidak terlibat dalam diskusi sehingga tidak terekam di sini.
Kalau benar penyebabnya ketiadaan critical thinking maka alangkah sulitnya mengatasinya. Tidak bisa dengan ''pendidikan singkat satu bulan''. Pun tiga bulan.


Di Amerika critical thinking itu sudah menjadi bagian dari pendidikan. Sejak SD. Critical thinking bukan dianggap kemasan. Yang bisa dibungkuskan belakangan --dengan dicarikan bungkus plastik, kertas bekas atau daun pisang.
Gejala ketiadaan critical thinking itu bisa terlihat di kelas: begitu sedikit siswa yang berani bertanya kepada guru. Dan guru begitu pelit memberikan rangsangan kepada siswa untuk berani bertanya.


Ini juga disinggung saat kami diskusi dengan Prof Dr Djodji Anwar di lab teknik mesin di UC Berkeley. Ia pernah diundang mengajar di kelas sekolah Indonesia. Ia melihat gejala itu.
Kursus online terbaik


"Kalau kelas lagi ribut dengan siswa yang bicara antar mereka sendiri gampang membuat mereka diam. Ajukan permintaan: siapa yang mau bertanya? Kelas akan kembali sunyi. Semua diam. Tidak ada yang berani bicara, takut dikira akan bertanya," ujar Anwar.
Siapa Djodji Anwar Anda bisa lihat Disway 6 November 2024: Anwar Berkeley.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan