Wanita Global
Disway--
Di Amerika kemarin itu saya bertemu empat wanita istimewa.
Yang satu bernama Mel, di Oakland, tidak jauh dari rumah masa kecil Kamala Harris. Aslinyi Banyuwangi. Tamatan Madrasah Aliyah. Tidak pakai jilbab. Kaca mata hitamnya dipadu dengan jaket ketat yang keren. Dia sangat menjaga diri agar hanya makan makanan yang pasti halal.
Bagi Mel, lebih baik hanya makan sayur daripada makan daging ayam yang tidak tahu disembelih dengan cara apa (Baca Disway: Bismillah Karnaval).
BACA JUGA: Bawaslu Jambi Petakan TPS Rawan, Antisipasi Kerawanan Pungut Hitung
BACA JUGA:Tinjau Pembangunan Proyek Museum KBCN di Candi Muaro Jambi
Tapi Mel tidak sok halal. Dia tidak menunjukkan ekspresi wajah negatif ketika orang di sebelahnyi makan apa saja.
Bahkan dia berusaha menutupi orientasi keras halalnyi itu dengan cara yang sangat sopan: "saya vegetarian".
Suaminyi orang bule. Asal Prancis. Pun suaminyi yang meninggal beberapa tahun lalu: juga orang kulit putih.
Mel ikut saya ke acara makan malam di Palo Alto --kawasan startup di Silicon Valley.
Dalam perjalanan, di dalam mobil, saya dengar percakapan Mel dengan wanita di sebelahnyi yang lagi mengemudi.
"Boleh nggak saya pindah kerja ke tempatmu," tanya Mel.
"Boleh. Mulai minggu depan?"
"Jangan minggu depan. Saya masih mau urus anak saya dulu. Bagaimana kalau mulai bulan depan."
"Boleh."
"Berapa gajinya?”
"Mau kan USD 70 per jam?”
"Tidak bisa lebih tinggi?"
"Kita lihat dulu".
"Tapi dikontrak paling tidak satu tahun lho ya."
"Kok lama. Gak bisa tiga bulan saja?”
Terputus. Belum lagi pembicaraan selesai ada topik lain yang tiba-tiba harus dibicarakan.
Saya tahu Mel bukan wanita yang lagi menganggur. Dia sudah bekerja: juga di bidang IT. Tapi rupanya dia terus berusaha cari gaji yang lebih tinggi. Tawaran 70 dolar/jam (sekitar Rp 1 juta per jam) masih dia anggap kurang tinggi.
Itu pun Mel tidak mau lama-lama. Gaji Rp 1 juta/jam itu hanya batu loncatan. Meloncatnya pun cepat-cepat.
Kesan saya: betapa mudah cari pekerjaan di Amerika. Betapa ringan untuk memutuskan pindah kerja. Tidak ada perasaan khawatir apakah akan bisa dapat pekerjaan pengganti.
Setelah tiga hari di New York saya ke New Haven, Connecticut. Dua wanita ingin mengantar saya.
Yang satu mbak Sri. Asal Sragen. Suaminyi juga bule --asal Los Angeles. Sang suami ahli software. Sudah pensiun dari perusahaan raksasa bidang IT, IBM.
Mbak Sri menyesalkan mengapa saya tidak tidur di rumahnyi di dekat New York. Rumah yang, katanyi, enak untuk menulis buku. Di pinggir danau besar. Ada dua rumah di situ. Berdekatan. Saya, katanyi, bisa datang dan pergi kapan saja.
Kalau bosan di situ masih ada rumah lagi di Montana. Di pinggir taman hutan di dekat Kanada.
"Saya sudah beli tiket kereta api," kata saya. "Tidak perlu diantar."
Bukan berarti kami tidak bisa bertemu. Mbak Sri mengajak suami berkendara ke New Haven. Satu jam perjalanan. Kami pun ngobrol banyak hal sambil makan siang.
Di tengah makan ada info masuk: Mbak Dini juga ingin mengantar saya ke Hartford. Dia orang Demak, Jateng. alumnus Universitas Satya Wacana. S-2 dan S-3 nyi di Amerika.
Tapi Dini baru bisa berangkat agak sorean. Dia masih mengajar. Dia profesor linguistik Mengajar di Yale University --universitas papan atas di Amerika.