Tawaduk Thinking
Disway--
Prof Dr Sutiman di Universitas Brawijaya Malang, juga sama. Doktor nano biologi dari Jepang itu sampai punya cara sendiri untuk membuat mahasiswanya berani bertanya: bertanya apa pun nilai akhir semesternya ditambah.
Tetap langka. Ada, tapi langka. Sudah telanjur tidak diciptakan iklim critical thinking sejak SD, SMP dan SMA.
Makanan sudah habis. Diskusi masih berlanjut. Masih ada buah semangka. Juga kopi dan teh.
Adakah semua itu akibat budaya timur? Sopan? Santun? Sungkan? Rendah hati? Tepo seliro? Ningrat? Feodal? Tawaduk?
Benar! Pasti ada hubungannya.
Salah! Jepang kok bisa. Juga Korea.
Diskusi pun menukik lebih dalam lagi. Sampai ke soal hidup sesudah mati. Sampai surat Al Baqarah dalam Alquran. Kang Deden banyak hafal ayat-ayatnya.
BACA JUGA:Pastikan Kevin Diks Perkuat Timnas Lawan Jepang
BACA JUGA:Penguatan Spirit Religi dan Wisata Jambi, Semangat Haul ke-272 Al-Habib Husein
Di situ ustaz mengajarkan banyak bertanya itu tercela. Seperti cerewet. Dianggap buruk seperti Israel. Diperintah sembelih sapi saja masih bertanya. Sapinya jantan atau betina. Apa warna kulitnya.
Stop. Jangan diteruskan. Bisa murtad. Toh Anda bisa berpikir sendiri di mana hulu dari lemahnya critical thinking itu.
Dan lagi sudah terlalu panjang. Saya masih harus segera mencoba naik taksi tanpa pengemudi. Mumpung di San Francisco. Keburu sore.
Masih akan ada diskusi dengan diaspora pukul 17.00. Masih ada makan malam di rumah Marissa di San Bruno. Ahli-ahli dari MIT asal Afrika Selatan akan gabung di makan malam itu.
Masih belum menulis pula untuk Disway.
Stop.(Dahlan Iskan)