JAMBI – Konflik antara manusia dan satwa liar semakin sering terjadi, dan berdampak pada banyak spesies. Dampak perubahan iklim kemungkinan akan memperburuk masalah ini. Di Provinsi Jambi, konflik antara manusia dan satwa liar di tahun 2024 mengalami peningkatan signifikan dibandingkan tahun sebelumnya, terutama untuk beberapa jenis satwa.
Perubahan fungsi kawasan, menyempitnya areal satwa liar, serta terganggunya habitat hewan menjadi faktor utama yang memicu peningkatan konflik tersebut.
Meningkatnya konflik antara manusia dan satwa liar di tahun 2024 tak hanya merusak hubungan antara keduanya, tetapi juga menimbulkan kerugian ekonomi dan sosial yang besar. Banyak warga kehilangan hasil panen, ternak, dan harta benda yang menjadi sumber penghidupan serta ketahanan pangan mereka. Bahkan, konflik ini sering kali berujung pada hilangnya nyawa atau cedera parah, yang berdampak langsung pada hilangnya mata pencaharian mereka.
BACA JUGA:Pentingnya Pemerataan, SAH Ingatkan Jangan Ada Desa yang Tertinggal
BACA JUGA:Pjs Gubernur Sudirman Apresiasi Peran Forum Zakat
Koordinator Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), Jefry, mengungkapkan bahwa salah satu penyebab utama meningkatnya konflik adalah menyempitnya habitat satwa liar akibat perubahan fungsi lahan. “Satwa-satwa, seperti gajah dan harimau, yang seharusnya hidup di habitat alam mereka, semakin sering masuk ke pemukiman dan lahan pertanian karena ruang hidup mereka terus berkurang,” kata Jefry, Selasa 8 Oktober 2024.
Kerugian ekonomi menjadi beban berat bagi para petani dan peternak yang sering kali menjadi korban serangan satwa liar. Gajah yang merusak ladang pertanian, harimau yang memangsa ternak, hingga beruang madu yang mengganggu pemukiman, semuanya mengancam stabilitas ekonomi lokal.
Tak hanya itu, konflik ini juga menimbulkan ancaman serius bagi kelangsungan hidup satwa liar itu sendiri. Banyak satwa yang terancam atau bahkan hampir punah diburu atau dibunuh sebagai tindakan pembalasan, atau sebagai upaya untuk mencegah konflik di masa depan.
Kondisi ini memicu dilema besar dalam upaya pelestarian satwa. Di satu sisi, manusia berjuang untuk melindungi penghidupan mereka, namun di sisi lain, pembunuhan satwa liar memperparah krisis konservasi. Oleh karena itu, BKSDA bersama masyarakat dan penggiat konservasi terus berupaya mencari solusi yang berkelanjutan untuk mengurangi konflik dan melindungi kedua pihak.
Upaya seperti patroli terpadu, penyuluhan kepada masyarakat, serta pengelolaan kawasan konservasi menjadi langkah penting dalam meminimalisir konflik. Namun, dengan meningkatnya intensitas konflik di tahun ini, dibutuhkan kerjasama yang lebih kuat antara pemerintah, masyarakat, dan pihak-pihak terkait agar konflik manusia dan satwa liar tidak berujung pada bencana yang lebih besar.
Koordinator Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), Jefry, mengungkapkan bahwa ada variasi dalam jumlah konflik berdasarkan jenis satwa. Untuk konflik yang melibatkan gajah, terjadi peningkatan yang cukup signifikan.
"Pada tahun 2023, kami menangani 16 konflik dengan satwa gajah, sementara di tahun 2024 hingga saat ini, sudah ada 24 konflik yang kami tangani," ujar Jefry, Selasa 8 Oktober 2024.
Penanganan konflik ini dilakukan dengan melibatkan masyarakat setempat, penggiat konservasi, serta anggota-anggota yang bergerak langsung di bidang konservasi satwa liar. Kolaborasi ini dianggap sangat penting dalam mengurangi potensi kerugian di kedua pihak, baik manusia maupun satwa.
Namun, di sisi lain, terdapat juga jenis satwa yang mengalami penurunan jumlah konflik, seperti pada Beruang Madu. Jefry melanjutkan, "Untuk Beruang Madu, kami mencatat ada 18 konflik pada tahun 2023, sementara di tahun 2024 hingga September, hanya terjadi 7 konflik."
Meskipun demikian, konflik yang melibatkan satwa gajah tetap menjadi perhatian utama sepanjang tahun 2024, menjadikannya satwa yang paling menonjol dalam konflik dengan manusia. Hal ini mendorong upaya penanganan lebih intensif untuk mengurangi dampak buruk terhadap populasi gajah dan keselamatan masyarakat sekitar.
“Wilayah-wilayah yang sangat rawan konflik gajah ada di beberapa titik, yakni wilayah Lubuk Kambing, Sungai Rotan, Pematang Paoh, dan Tanah Tumbuk,” jelasnya.