Yang paling fair adalah lewat tender. Itu paling demokratis. Begitu banyak proyek pembangunan daerah tertinggal dilakukan di negara demokrasi. Lewat cara yang demokratis. Memang itu memakan waktu. Banyak yang tidak sabar. Tapi berdemokrasi itu harus lebih sabar.
Kalau pun ditenderkan kita juga sudah tahu siapa yang bisa ikut lelang. Orang seperti saya tidak akan mampu masuk ke proyek seperti itu. Entah kalau setingkat Prof Pry. Sejuta Pak Thamrin bergabung pun tak kan kuat ikut tender seperti itu.
Di Mumbai –yang dibahas perusuh berhati halus Mirwan Mirza tiga hari lalu– benar-benar menarik. Kampung kumuh di tengah kota Mumbai yang kian modern itu luasnya dua kilometer persegi. Kumuh dan ruwet. Saya bergidik ketika melihatnya di sana.
Setelah berkali-kali ditenderkan, pemenangnya ya itu-itu juga: Adhani –orang terkaya di sana. Orang dekat penguasa saat ini –Perdana Menteri Narendra Modi. Bukan orang sekelas kita.
Menetapkan wilayah seperti itu sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) mungkin perlu. Tinggal seperti apa "isi" dalam PSN itu. Bahkan penetapan sebagai PSN bisa menaikkan harapan pemerintah untuk mendapat uang lebih besar dari pemenang tender.
Orang seperti Aguan juga tidak perlu berkecil hati. Ikut saja tender. Kemungkinan menangnya sangat besar. Apalagi di Indonesia sudah ada peraturan khusus: sangat menghargai inisiator.
Inisiator sebuah proyek yang ditenderkan, menurut peraturan itu, mendapat nilai di depan sebanyak 10 persen.
Kalau saja Aguan dianggap sebagai inisiator pengembangan kawasan yang sekarang dikenal dengan PSN PIK2, maka untuk apa takut proyek itu ditenderkan.