MPR Rumuskan Opsi Strategis, Sikapi Putusan MK Soal Pemisahan Pemilu

Jumat 11 Jul 2025 - 19:29 WIB
Reporter : Rizal Zebua
Editor : Rizal Zebua

Komisi Kajian Ketatanegaraan (K3) MPR RI merumuskan sejumlah opsi strategis untuk menyikapi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXI/2024 yang mewajibkan pemisahan jadwal pemilu nasional dan pemilu daerah.

 

Ketua K3 MPR RI Taufik Basari menegaskan bahwa putusan ini menimbulkan dilema konstitusional dan menuntut respons kelembagaan yang cermat dari MPR RI sebagai satu-satunya lembaga negara yang berwenang mengubah UUD 1945.

"Maka, sikap atau rekomendasi MPR atas kondisi dilematis ini harus mempertimbangkan kekuatan konstitusional yang dimilikinya," kata Taufik dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Rabu.

Dia menjelaskan, dalam putusan tersebut MK menyatakan bahwa pemilu nasional dan pemilu daerah harus dilaksanakan secara terpisah, dengan rentang waktu minimal dua tahun dan maksimal dua setengah tahun antara keduanya.

BACA JUGA:Rp 11 M untuk Bedah 550 Rumah

BACA JUGA:Polisi Dalami Misteri Kematian Diplomat Kemenlu

Pemilu nasional meliputi pemilihan DPR, DPD, serta Presiden dan Wakil Presiden, sedangkan pemilu daerah meliputi DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala daerah.

Menurut dia, implementasi putusan ini dinilai menimbulkan dilema konstitusional. Di satu sisi, melaksanakan pemilu dengan pemisahan waktu sebagaimana amar putusan MK berpotensi melanggar ketentuan dalam Pasal 22E ayat (1) dan (2) serta Pasal 18 ayat (3) UUD NRI 1945 yang mengatur bahwa pemilu harus dilaksanakan setiap lima tahun dan anggota DPRD dipilih melalui pemilihan umum.

Di sisi lain, menurut dia, mengabaikan putusan MK juga berarti melanggar Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan putusan MK bersifat final dan mengikat.

“Dua-duanya problematik. Jika dilaksanakan, maka bisa terjadi perpanjangan masa jabatan DPRD yang tak memiliki landasan konstitusional karena tidak dipilih oleh rakyat. Namun jika tidak dilaksanakan, berarti kita melanggar prinsip dasar bahwa putusan MK wajib dijalankan,” kata dia.

Dia pun mendorong agar pimpinan MPR mengambil inisiatif untuk menggelar rapat konsultasi dengan DPR, Presiden, dan MK.

Konsultasi tersebut, kata dia, dinilai penting untuk membahas berbagai opsi rekayasa konstitusi atau constitutional engineering yang memungkinkan sebagai respons atas putusan MK yang menuai kontroversi.

Beberapa poin yang disiapkan antara lain mencakup skenario apabila terjadi gugatan kembali, kemungkinan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), hingga langkah-langkah alternatif lainnya.

 

 

 

 

"Nantinya, keputusan akan ditentukan berdasarkan opsi-opsi yang disepakati dalam forum konsultasi,” katanya.(*)

Kategori :