JAMBI, JAMBIKORAN.COM - Di balik kemegahan tahta Kerajaan Jambi, tersimpan kisah penuh air mata dan penyesalan. Kisah ini bermula dari seorang raja bijaksana bernama Tan Talanai, yang justru harus membuang putra kandungnya sendiri ke laut demi menghindari ramalan kelam.
Pada suatu masa, Kerajaan Jambi yang sempat dilanda kekacauan berhasil dipersatukan kembali oleh Tan Talanai, seorang pemimpin dari Rabu Menarah, Turki.
Di bawah kekuasaannya, rakyat hidup damai dan sejahtera. Namun di balik segala kejayaan itu, Tan Talanai menyimpan satu kegundahan—ia belum dikaruniai keturunan.
Setelah bertahun-tahun menanti, doa sang raja pun terjawab. Permaisurinya mengandung dan melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan.
BACA JUGA:20 Teknisi Terbaik Yamaha Jambi Beradu Skill di Ajang ITGP 2025
BACA JUGA:Hadirkan Saksi Ahli dari PPATK, Sidang TPPU Tekhui Gembong Narkoba Jambi
Namun kebahagiaan itu hanya seumur jagung. Seorang ahli nujum istana datang membawa kabar buruk: bayi yang baru lahir itu kelak akan membunuh ayahnya sendiri.
Terperangkap antara cinta seorang ayah dan ketakutan seorang penguasa, Tan Talanai mengambil keputusan paling tragis dalam hidupnya.
Ia memerintahkan patihnya, Datuk Emping Besi, untuk membuang bayi itu ke laut. Meski sang permaisuri memohon dengan air mata, hati Tan Talanai tetap teguh karena keyakinannya pada ramalan.
Peti kecil berisi bayi malang itu pun hanyut terbawa arus hingga akhirnya ditemukan oleh Tuan Putri, ratu dari Negeri Siam. Merasa iba, ia merawat bayi itu seperti darah dagingnya sendiri.
BACA JUGA:Nikmati Paket Ngebotram di Swiss-Belhotel Jambi
BACA JUGA:Aktivitas Fisik Bisa Tingkatkan Kesehatan Otak dan Daya Ingat
Sang anak tumbuh menjadi pemuda cerdas dan tangguh, meski menyimpan luka karena tak mengetahui asal-usulnya.
Ketika kebenaran akhirnya terungkap, amarah membuncah dalam hati sang putra. Ia merasa dikhianati oleh ayah kandung yang telah menelantarkannya.
Didorong oleh dendam, ia memutuskan menyerbu Kerajaan Jambi. Tuan Putri berusaha mencegahnya, namun sang anak tetap pada pendiriannya.
Perang pun tak terelakkan. Pasukan Jambi dikalahkan, dan Tan Talanai akhirnya harus berhadapan langsung dengan darah dagingnya sendiri.
BACA JUGA:Manfaat Konsumsi Makanan Rendah Kalori, Pilihan Cerdas untuk Gaya Hidup Sehat
Namun dalam pertarungan itu, bukan kekuatan yang berbicara, melainkan penyesalan seorang ayah. Dengan tulus, Tan Talanai mengakui kesalahannya dan menyerahkan dirinya pada sang anak.
Air mata menggantikan kemarahan. Sang putra luluh mendengar pengakuan ayahnya. Ia memeluk Tan Talanai, memaafkan segala kekhilafan, dan mengajak kedua orang tuanya kembali ke Siam.
Di negeri itulah mereka hidup damai, dan sang anak akhirnya dinobatkan menjadi raja. Dari garis keturunannya inilah dipercaya lahir para penguasa Siam di masa mendatang.
Kisah ini menjadi pengingat bahwa kepercayaan buta pada ramalan bisa membawa petaka, bahkan merenggut kasih yang paling suci—kasih seorang ayah dan anak. Namun di sisi lain, cerita ini juga mengajarkan kekuatan dari memaafkan. Bahwa luka yang paling dalam sekalipun bisa disembuhkan dengan ketulusan hati.
Tan Talanai, bukan sekadar nama dalam sejarah, tetapi kisah tentang kesalahan, penyesalan, dan pengampunan yang melampaui darah dan takhta. (*)