JAMBIKORAN.COM – Generasi Z, kelompok usia yang lahir antara 1997 hingga 2012 tengah menjadi sorotan karena tingginya risiko terlilit utang, terutama dari layanan pinjaman digital seperti paylater dan kartu kredit.
Gaya hidup konsumtif, tekanan media sosial, dan minimnya dana darurat menjadi sejumlah faktor utama yang memperburuk kondisi finansial mereka.
Data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa sekitar 40 persen kasus kredit macet berasal dari kelompok usia 19 hingga 34 tahun, yang mencakup Gen Z dan milenial.
Di sisi lain, riset juga mengungkap bahwa lebih dari 60 persen anak muda tidak memiliki dana darurat, membuat mereka sangat rentan terhadap krisis keuangan mendadak.
BACA JUGA:Airlangga: Pemerintah Tanggung 50% Iuran, Ojol Bakal Dapat Fasilitas BPJS Ketenagakerjaan
BACA JUGA:Pemerintah Bakal Beri Insentif Pajak PPh 21 bagi Karyawan Hotel, Restoran, dan Kafe
Gaya Hidup dan FOMO
Gen Z dikenal sebagai generasi yang sangat terampil dalam menggunakan teknologi dan aktif mengikuti tren.
Nongkrong di kafe, belanja online, hingga membeli barang-barang branded menjadi bagian dari kebiasaan yang sering dianggap sebagai gaya hidup “normal” oleh kelompok ini.
Namun, kebiasaan tersebut kerap didorong oleh fenomena FOMO (Fear of Missing Out) dan YOLO (You Only Live Once), yang sering kali mendorong pengeluaran spontan tanpa pertimbangan jangka panjang.
Tak sedikit dari mereka yang mengandalkan kartu kredit, layanan paylater, hingga pinjaman online untuk memenuhi gaya hidup tersebut.
BACA JUGA:Bus Rombongan Nakes Alami Kecelakaan di Probolinggo Sepulang dari Bromo, Delapan Orang Tewas
BACA JUGA:Wujudkan Kota Jambi Religius, Wali Kota Beri Bantuan BOP Masjid
Kemudahan akses terhadap fasilitas ini, meski bermanfaat, justru membuat banyak Gen Z terjebak dalam utang yang menumpuk.
Bahkan, beberapa diantaranya menggunakan layanan pinjaman ilegal yang memiliki bunga sangat tinggi dan risiko hukum.