Begitu salat selesai mereka langsung berdiri. Bubar. Tidak ada doa. Tidak ada wirid.
Di halaman saya dicegat beberapa anak muda. Minta foto.
''Kami dari Kendari,'' kata mereka. ''Kami dikirim perusahaan belajar di Xiamen,'' tambahnyi.
''Perusahaan apa?'' tanya saya.
''Perusahaan nikel. Ini namanya,'' jawabnyi sambil menunjukkan tulisan di celana: PT Obsidian Stainless Steel.
Ada tiga lagi turis dari Malaysia. Lalu ada segerombol anak muda Hui menemui saya. '
'Anda kelihatannya tokoh ya. Banyak yang minta foto bersama,'' katanya.
''Anda dari mana?'' tanya saya.
我 们是宁夏人,'' jawabnya.
Oh, saya pernah ke Ningxia, kampung mereka. Jauuuuh di wilayah barat Tiongkok. Dekat Xinjiang. Ningxia adalah salah satu provinsi mayoritas suku Hui nan Islam.
Selesai Jumatan saya keliling kompleks masjid ini. Yang untuk salat Jumat itu masjid baru: dibangun 1960-an.
Masjid lama terlalu tua. Sudah jadi peninggalan sejarah. Juga terlalu kecil. Hanya cukup untuk 25 orang. Bentuk masjid tua ini seperti kelenteng kecil. Letaknya sekitar 50 meter dari masjid baru.
Masjid tua itu pun masjid ''baru''. Masjid yang berumur lebih 1000 tahun tinggal tersisa tiang-tiang utama. Juga tersisa batu-batu nisan kuno. Rupanya di sebelah masjid itu ada kuburan.
Masjid tua dan masjid reruntuhan inilah yang jadi objek wisata sejarah. Tapi beberapa orang terlihat ingin tahu juga masjid baru. Maka di saat salat Jumat beberapa turis memotret jamaah yang lagi mendengarkan khotbah.
Ketika hendak masuk gerbang masjid tadi saya ditanya penjual karcis: mau salat atau mau lihat-lihat. Yang mau salat tidak perlu beli karcis.
Selesai Jumatan saya pun kembali ke Fuzhou. Dua jam di jalan tol. Sore hari lalu-lintas lebih padat. Utamanya ketika mulai masuk kota Fuzhou.