''Dari Turkiye''.
''Saya baru sekali ini ke masjid ini. Apakah kalian juga baru sekali?''
''Iya. Baru sekali ini''.
''Tadi itu kalian salat duhur?''
''Iya. Ada meeting jam 15.00. Takut terlambat,'' kata yang besar.
''Berapa hari di Quanzhou?''
''Dua hari''.
Mereka pun buru-buru meninggalkan masjid. Saya kembali masuk masjid.
Begitu saya duduk, ceramah itu selesai. Tanpa penutup "Wassalamu'alaikum..."
Bersamaan dengan selesainya ceramah para jamaah berdiri. Salat. Sendiri-sendiri. Oh...salat sunnah. Saya pun salat dua rakaat. Mereka ternyata salat empat rakaat, dua kali salam.
Yang ceramah tadi pun berjalan menuju mimbar khotbah. Tanpa salam. Langsung duduk di tangga mimbar.
Lalu, salah seorang bercelana jeans, di sebelah mimbar, melantunkan azan. Pakai logat Quanzhou. Saya rekam. Anda boleh lihat di IG –kalau cukup pulsa.
Selesai azan khotbah dimulai. Dalam bahasa Arab. Pendek sekali. Hanya 6 menit. Khotbah itu juga saya rekam. Bisa dilihat di IG.
Selesai berkhotbah ia jadi imam salat Jumat. Saya lirik jam dinding. Pukul 14.00.
Ketika imam selesai mengucapkan ''waladdolin'' beberapa orang menyahut dengan kata 'amin'. ''Ini pasti ada orang Indonesia yang ikut salat Jumat di sini,'' kata saya dalam hati. Di masjid-masjid Tiongkok tidak ada sahutan 'amin' seperti itu --pun menjelang Pilpres seperti ini.
Ketika tiga jamaah keluar, yang baru masuk lebih banyak. Masjid menjadi agak penuh: lebih 100 orang: 80 persen suku Hui.