BPOM Terbitkan Aturan Label BPA pada AMDK
BPOM menerbitkan aturan pencantuman label bahaya BPA pada AMDK-Disway-
Begitu pun dengan hasil pengujian migrasi BPA di ambang 0,05-0,6 ppm yang meningkat berturut-turut hingga 41,56 persen.
Adapun bahaya BPA bagi kesehatan
Dekan Fakultas Universitas Airlangga Profesor Junaidi Khotib menyampaikan BPA sudah lama dikenal di dunia Kesehatan sebagai senyawa Kimia sintesis yang bisa menjadi pengganggu endokrin.
BACA JUGA:Puluhan Sampel Makanan Diuji, BPOM Ingin Pastikan Aman
BACA JUGA:BPOM Belum Temukan Makanan Berbahan Bahaya
Sistem endokrin merupakan jaringan kelenjar yang memproduksi dan melepaskan hormon yang mengontrol fungsi penting dalam tubuh, termasuk proses fisiologis, seperti pertumbuhan, metabolisme, dan reproduksi.
"Senyawa ini dapat menyerupai hormon dalam tubuh dan dapat membentuk ikatan pada reseptor hormon, yang dapat mengganggu fungsi fisiologis dan menyebabkan perubahan patofisiologis," ujar Prof Junaidi dalam keterangannya.
Ketika masuk ke dalam tubuh melalui medium makanan dan minuman yang ditempatkan dalam wadah plastic, maka BPA akan meniru hormon alami.
Kemudian, merebut tempat hormon tersebut pada reseptor di berbagai organ yang menyebabkan terjadi gangguan hormonal di dalam tubuh.
BACA JUGA:Lindungi Orang Berpuasa, SAH Minta BPOM Jambi Cek Keamanan Takjil Ramadan
BACA JUGA:BPOM Jambi Uji Labor Makanan di Pasar Bedug
Gangguan hormonal ini yang nantinya akan mempengaruhi pertumbuhan dan pubertas, serta fertilitas.
Sejumlah referensi ilmiah juga menyebutkan kondisi ini dapat memicu munculnya sel abnormal pada tubuh dan meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular, diabetes, dan hipertensi.
Tak hanya itu, penelitian menunjukkan bahwa paparan BPA dalam jangka Panjang dapat mempengaruhi kesehatan mental.
"Pada penelitian laboratorium, paparan BPA pada hewan coba menunjukkan gangguan perilaku seperti kemampuan motorik, aktivitas gerak, keseimbangan, dan daya ingat. Sementara studi epidemiologi menemukan bahwa kadar BPA dalam darah atau urin anak-anak berkorelasi dengan gangguan perilaku, kecemasan, dan depresi," kata Junaidi. (*)