Trump Kenakan Apple Tarif 25 Persen

Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump.-IST/Jambi Independent-Jambi Independent

JAKARTA - Keputusan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memberikan ancaman kepada perusahaan elektronik ternama Apple, berupa penerapan tarif khusus sebesar 25 persen untuk iPhone yang diproduksi di luar AS, sukses menuai perdebatan.

Pasalnya, pengumuman tarif turut menjadi pemicu gejolak pasar. Tidak hanya itu, indeks saham utama AS dan Eropa menurun, saham Apple tertekan dan imbal hasil obligasi AS ikut turun. 

Selain itu menurut Ekonom sekaligus Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, gejolak ini menunjukkan tingginya ketidakpastian kebijakan dagang AS.

BACA JUGA:Kejagung Geledah 2 Apartemen Stafsus Nadiem Makarim

BACA JUGA:Memihak Rubil

“Reaksi pasar mencerminkan kekhawatiran akan eskalasi konflik dagang, namun sedikit mereda setelah muncul kabar mengenai penundaan penerapan tarif,” ujar Achmad, Senin (26/5).

Kendati begitu, Achmad juga menambahkan bahwa meskipun ancaman tersebut bersifat sementara, dampaknya terhadap pasar tetap terasa. 

“Fluktuasi harga saham, nilai tukar, dan sentimen investor menunjukkan bahwa retorika kebijakan, bisa berdampak langsung terhadap ekonomi global, meskipun implementasinya belum tentu terjadi,” jelas Achmad.

Indonesia sendiri diketahui juga menjadi salah satu negara yang terkena imbas tarif balasan dari AS, dengan bea masuk cukup tinggi untuk beberapa produk ekspor. 

Menanggapi hal ini, Pemerintah merespons dengan memilih jalur diplomasi, tidak membalas secara simetris, dan mengalihkan fokus ekspor ke pasar alternatif di luar AS. 

Selain itu, Indonesia menunjukkan langkah reformasi dengan mengurangi kebijakan protektif seperti kuota impor dan menggantinya dengan sistem tarif yang lebih terbuka dan transparan. 

“Pendekatan ini sendiri bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing produk dalam negeri sekaligus membuka peluang pasar baru melalui perjanjian dagang regional dan global,” jelas Achmad.

Di sisi lain, Achmad juga menyatakan bahwa ancaman tersebut dianggap tidak realistis untuk dipatuhi.

Menurutnya, biaya produksi di AS jauh lebih tinggi dan relokasi rantai pasok membutuhkan waktu bertahun-tahun.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan