Menata Ulang Kelembagaan dan Integritas Pemilu Pasca Putusan MK Pemisahan Pemilu dan Pilkada

MENATA ULANG : Gedung Makamah Agung. Pasca putusan MK, kelembagaan dan integritas pemilu harus ditata ulang.-IST/Jambi Independent-Jambi Independent

"Petugas yang pernah bertugas di TPS atau wilayah yang disengketakan di Mahkamah Konstitusi, terkena laporan Bawaslu, atau melanggar etik harus dievaluasi serius, bahkan di blacklist dari seleksi berikutnya. Rekrutmen harus berbasis merit, terbuka terhadap uji publik, dan menjamin inklusi sosial. Hal ini akan memperkuat akuntabilitas, profesionalisme, dan menjaga kredibilitas kelembagaan pemilu dari akar rumput.

KPU juga perlu meninjau ulang substansi Peraturan KPU (PKPU) yang diterbitkan sebelumnya sebagai acuan untuk perencanaan kedipan, khususnya yang mengatur teknis pemungutan dan penghitungan suara. Masih banyak narasi yang multi tafsir, terutama terkait kategori pemilih: DPT, DPTb, dan DPK. 

Tidak sedikit pemilih yang bingung tentang syarat pindah memilih, waktu pelaporan, hingga hak atas surat suara. Dalam pemilu mendatang, regulasi harus lebih terang dan aplikatif, disertai simulasi teknis dan edukasi berbasis komunitas. Sosialisasi pemilu pun harus direkonstruksi, bukan lagi berorientasi pada seremonial dan kampanye visual semata. Pendidikan pemilih harus menyasar akar persoalan: pemahaman hak pilih, tata cara pindah memilih, serta alasan administratif penolakan yang kerap terjadi di TPS. KPU dan Bawaslu perlu menggandeng tokoh lokal, LSM, akademisi, hingga relawan komunitas dalam menggerakkan literasi elektoral secara horizontal. Dalam konteks inilah, penting untuk menegaskan kolaborasi kelembagaan bersama komunitas akademik," tegasnya. 

Di samping itu, menurutnya kampus dan pusat studi pemilu dapat memainkan peran vital dalam menyusun kajian teknis, evaluasi regulasi, maupun penelitian berbasis lapangan untuk memperkuat kualitas pemilu dari hulu ke hilir. Kolaborasi semacam ini juga dapat memperkuat basis pendidikan pemilih secara ilmiah, sekaligus membangun ruang uji publik yang objektif terhadap desain dan pelaksanaan tahapan.

Aspek lain yang tak kalah penting adalah evaluasi menyeluruh terhadap penganggaran operasional badan ad hoc, terutama di tingkat kecamatan dan kelurahan. Selama ini, banyak aduan dari petugas tentang minimnya dukungan fasilitas, honorarium yang tertunda, atau beban kerja yang tidak sebanding dengan alokasi anggaran. 

"Sudah saatnya anggaran disesuaikan dengan jumlah pemilih dan luas geografis wilayah kerja, bukan pendekatan seragam yang kaku. Evaluasi berbasis kebutuhan ini penting untuk menjamin performa optimal para petugas lapangan. Tentu saja, seluruh reformasi ini tidak dapat berjalan hanya oleh penyelenggara. Partai politik sebagai aktor utama demokrasi elektoral juga perlu mengambil bagian dalam memperbaiki sistem ini secara partisipatif. Partai tidak boleh hanya menjadi peserta pemilu, tetapi juga menjadi mitra kritis dalam mendorong transparansi penyelenggaraan, menyaring calon berkualitas, dan mendukung literasi pemilih. 

Tanpa kesadaran kolektif, perbaikan teknis yang dilakukan penyelenggara tidak akan berdampak signifikan dalam praktik politik elektoral di tingkat akar rumput. Dengan kata lain, pemisahan pemilu adalah momentum restrukturisasi tata kelola pemilu yang selama ini bekerja dalam tekanan serentak dan kejar waktu. Ini saatnya memperkuat sistem, bukan hanya melapisi tahapan. Meningkatkan kualitas demokrasi, bukan sekadar memastikan surat suara tersedia. Memastikan integritas penyelenggara, bukan hanya sekadar memenuhi tenggat waktu konstitusional," paparnya.

Zakly melanjutkan, pemisahan pemilu bukanlah sekadar persoalan penjadwalan ulang tahapan elektoral, melainkan merupakan peluang historis yang amat strategis untuk menata ulang arsitektur kelembagaan dan sistem tata kelola pemilu Indonesia secara lebih menyeluruh. Ini adalah momentum untuk mereformasi bukan hanya aspek teknis operasional, tetapi juga untuk memperkuat dimensi normatif dari demokrasi elektoral yaitu kepastian hukum, legitimasi prosedural, inklusi politik, serta reformasi kelembagaan penyelenggara pemilu dalam merespons dinamika sosial politik nasional dan lokal yang semakin kompleks. Momentum dua gelombang pemilu di tahun 2029 dan 2031 harus dibaca sebagai fase transisional yang menuntut keberanian politik dan ketegasan kelembagaan untuk melampaui pendekatan manajerial semata. 

"Reformasi tata kelola pemilu yang selama ini berjalan tambal sulam harus digantikan dengan desain sistem yang berbasis evaluasi empiris, keterlibatan pemangku kepentingan secara multisektor, dan penguatan kapasitas kelembagaan penyelenggara secara berkelanjutan. Dalam konteks ini, perencanaan yang matang, pemetaan risiko, dan pembentukan standar kinerja yang akuntabel bagi seluruh elemen penyelenggara, baik struktural maupun badan ad hoc yang merupakan syarat mutlak untuk menghindari disfungsi dalam tahapan elektoral yang padat dan berulang," jelasnya.

Zakly menambahkan, pemisahan pemilu juga menuntut kehadiran negara dalam memperbaiki ekosistem demokrasi secara lebih luas, dari perbaikan tata kelola pemilu, konsolidasi regulasi yang sinkron dan aplikatif, hingga investasi dalam literasi politik warga negara. Pendidikan pemilih yang sistematis, rekrutmen penyelenggara berbasis merit, serta sistem evaluasi yang transparan dan berbasis data adalah fondasi yang tidak bisa ditawar jika kita ingin keluar dari jebakan demokrasi prosedural yang kerap kali bersifat simbolik namun rapuh dalam pelaksanaan. 

Jika kesempatan ini gagal dimanfaatkan secara strategis, maka demokrasi akan kembali terjebak dalam lingkaran kelelahan prosedural, di mana kecepatan tahapan lebih diutamakan ketimbang kualitas substansi. Kita akan terus bergelut dengan konflik elektoral yang berulang, rendahnya kepuasan publik terhadap hasil pemilu, serta erosi kepercayaan terhadap institusi negara. Namun sebaliknya, jika fase dua gelombang ini direspons secara serius melalui visi kelembagaan yang visioner, kepemimpinan yang deliberatif, dan partisipasi publik yang inklusif, maka pemilu mendatang tidak hanya menjadi mekanisme transisi kekuasaan, melainkan juga titik balik bagi lahirnya demokrasi yang lebih sehat, partisipatif, dan substantif. 

Dua gelombang pemilu yang akan datang adalah ujian sekaligus peluang. Ujian atas kesiapan sistem kita dalam menata ulang fondasi demokrasi elektoral, dan peluang untuk membangun model pemilu yang lebih adaptif, adil, dan berorientasi pada kualitas. Jika kita mampu melewatinya dengan keberanian mereformasi, ketepatan perencanaan, dan kolaborasi lintas sektor, maka bukan tidak mungkin Indonesia akan memasuki babak baru dalam sejarah kepemiluannya, demokrasi yang tidak hanya dirayakan setiap lima tahun, tetapi yang benar-benar berakar pada akuntabilitas, rasionalitas, dan kedaulatan rakyat yang sejati," ucapnya. (Cr03/Viz)

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan