Perempuan, Tubuh, dan Beban Emosional: Siapa yang Menjaga Mereka?

-IST/Jambi Independent-Jambi Independent
Sejak dini, banyak perempuan tumbuh dengan satu kalimat yang terus-menerus digaungkan: “Kamu harus kuat.” Kata-kata itu terdengar seperti pujian, namun perlahan berubah menjadi beban. Ketika dunia terus menuntut kekuatan dari mereka, siapa yang memperhatikan luka yang tak tampak?
Beban emosional perempuan bukanlah hal baru. Sejak kecil, banyak anak perempuan diajarkan untuk menjadi penengah ketika orang tua bertengkar, menjadi perawat saat saudara sakit, atau bahkan menjadi pendengar bagi ayah dan ibu yang sedang lelah.
Psikolog klinis dari Yayasan Pulih, Devie Rahmawati, menyebutkan bahwa perempuan lebih rentan dibebani tanggung jawab emosional keluarga sejak usia dini, akibat konstruksi gender yang menempatkan mereka sebagai "penjaga harmoni".
Dalam keseharian, hal ini terlihat dari banyaknya perempuan muda yang merasa harus selalu tersenyum, bahkan ketika dunia di sekelilingnya runtuh.
BACA JUGA:Alami Patah Tulang Rusuk Saat Hadapi Port FC
BACA JUGA:Akui Pemainnya Gugup Saat Lawan Oxford United
Mereka diminta sabar, pengertian, tidak meledak-ledak. Padahal, setiap manusia memiliki ambang lelah dan kapasitas emosi yang terbatas. Namun bagi sebagian besar perempuan, menunjukkan kelelahan dianggap sebagai kelemahan.
Di sisi lain, tekanan terhadap tubuh perempuan semakin menumpuk. Standar kecantikan tidak hanya hadir di media sosial, tetapi juga dalam lingkungan terkecil seperti keluarga.
Mulai dari komentar soal berat badan saat lebaran, hingga ekspektasi untuk selalu tampil menarik di ruang publik. Sebuah survei dari Dove Self-Esteem Project (2021) mengungkapkan bahwa 59% remaja perempuan merasa cemas terhadap penampilan fisik mereka karena media sosial, dan angka ini terus meningkat.
Multitasking pun kerap menjadi ‘kemampuan wajib’ yang dimiliki perempuan. Mereka didorong untuk menjadi siswa teladan, pekerja tangguh, anak berbakti, sahabat penyemangat, sekaligus perempuan yang tampil menawan. Lalu, di mana ruang aman untuk sekadar mengaku lelah?
Isu-isu ini tidak jarang menjadi napas dalam karya musisi seperti Nadin Amizah. Dalam album Untuk Dunia, Cinta, dan Kotornya, ia tak segan menggambarkan pengalaman tubuh, luka, dan kemarahan yang sering terbungkam.
Fenomena ini bukan hanya pengalaman individual. Menurut American Psychological Association (APA), istilah emotional labor merujuk pada pekerjaan emosional yang tak dibayar, termasuk menenangkan orang lain, menjaga kestabilan suasana hati, hingga memendam perasaan pribadi demi kenyamanan orang sekitar.
Di masyarakat patriarkal, perempuan memikul beban ini jauh lebih besar. Kondisi ini berdampak jangka panjang. Perempuan yang terus menekan emosinya cenderung mengalami burnout, gangguan kecemasan, hingga depresi.
Sayangnya, kesehatan mental perempuan sering tidak dianggap serius. Mereka dituding “terlalu sensitif” atau “berlebihan” ketika menyuarakan keresahan. Padahal, validasi adalah langkah awal menuju pemulihan.