Oknum DPRD Batang Hari Jalani Sidang Adat, Digrebek Sedang Berduaan dengan Janda

Kepala Satpol PP Batang Hari, Adnan.-Ist/jambi independent -Jambi Independent
BATANGHARI – Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Batang Hari mengamankan sepasang pria dan wanita bukan muhrim, yang diduga melakukan perbuatan melanggar norma agama dan adat istiadat, di wilayah Kelurahan Teratai, Kecamatan Muara Bulian, Kamis (31/7).
Pasangan tersebut adalah seorang pria berinisial MH, yang diketahui merupakan oknum anggota DPRD aktif dari Fraksi Partai Gerindra Batang Hari, dan seorang wanita berinisial RM, yang disebut sebagai seorang janda.
Keduanya diamankan aparat Satpol PP sekitar pukul 15.00, setelah mendapat laporan dari masyarakat setempat yang mencurigai adanya aktivitas mencolok di salah satu rumah milik warga. Informasi dari masyarakat menyebutkan bahwa pasangan tersebut tengah berduaan di dalam rumah, padahal mereka bukan pasangan suami istri (pasutri).
BACA JUGA:Dua Pegawai BSI Rimbo Bujang Jadi Tersangka, Korupsi Dana KUR 4,8 M
BACA JUGA:Polda Jambi Musnahkan 5,5 Kg Sabu Asal Riau
“Setelah mendapatkan laporan, saya langsung koordinasi dengan Kepala Bidang dan Penyidik. Kami anggap laporan masyarakat sebagai aduan yang harus ditindaklanjuti. Karena tugas kami adalah menjaga ketertiban dan ketenteraman masyarakat,” ujar Kepala Satpol PP Batang Hari, Adnan.
Adnan menambahkan bahwa setelah anggota Satpol PP turun ke lokasi, mereka menemukan bahwa warga sudah lebih dahulu berkumpul di sekitar rumah tersebut. Setelah dipastikan kebenarannya, pasangan MH dan RM langsung digelandang ke Kantor Satpol PP Batang Hari untuk dilakukan pendataan dan penyelidikan lebih lanjut.
Menurut Adnan, perbuatan MH dan RM dianggap melanggar adat istiadat daerah yang dikenal dengan falsafah “Adat Bersendikan Syara’, Syara’ Bersendikan Kitabullah.” Dalam adat masyarakat Batang Hari, tindakan seorang laki-laki yang bertamu ke rumah perempuan bukan muhrim secara tertutup dapat dikategorikan sebagai "sumbang mata" atau "sumbang penglihatan", yang dinilai mencoreng norma sosial dan nilai adat.
“Ini sudah masuk dalam pelanggaran adat. Tapi Satpol PP hanya memfasilitasi. Kami tidak mengadili, karena ranah adat ada pada Ketua RT dan perangkatnya yang memiliki wewenang secara lokal,” jelas Adnan.
Kasus ini tidak dilanjutkan ke proses hukum formal. Sebaliknya, setelah dilakukan musyawarah bersama di kantor Satpol PP, Ketua RT, perangkat RT, dan tokoh adat sepakat menyelesaikan perkara ini melalui jalur adat.
“Kami panggil Ketua RT dan perangkat setempat untuk bermusyawarah. Sekitar usai salat Isya, mereka hadir. Musyawarah adat dipimpin langsung oleh Ketua RT, karena di situ juga ada Pegawai Syara’. Hasil musyawarah menyepakati bahwa pelanggaran ini diselesaikan di tingkat RT,” sambung Adnan.
Hasil dari musyawarah adat tersebut ditulis dan disepakati secara tertulis di atas materai, meski rincian isi keputusannya belum dipublikasikan secara resmi. Salah satu keputusan adat yang disebutkan adalah pelaksanaan "cuci kampung", sebuah bentuk ritual adat Batang Hari sebagai bentuk permohonan maaf dan pembersihan kampung dari perbuatan yang dianggap mencoreng norma adat.
“Adat kita mengenal prinsip ‘Berjenjang Naik, Bertanggo Turun’. Karena sudah selesai di tingkat RT, maka tidak perlu naik ke jenjang lebih tinggi seperti kelurahan atau kecamatan. Itu sudah sah menurut aturan adat kita,” kata Adnan. (sub/enn)