Proyek Raksasa Rp70 Triliun di AS Berhenti
-Ist/Jambi Independent -Jambi Independent
Presiden Donald Trump kini berada di posisi sulit setelah operasi razia imigrasi besar-besaran yang dipicu kebijakannya justru menghantam proyek investasi raksasa senilai US$4,3 miliar (sekitar Rp70 triliun) di Georgia, Amerika Serikat.
Insiden yang menahan ratusan pekerja Korea Selatan pada 4 September lalu ini tak hanya memicu kemarahan Seoul, tapi juga memaksa pemerintahan Trump mengakui kesalahan, dengan Wakil Menteri Luar Negeri Christopher Landau secara terbuka menyatakan penyesalan mendalam atas "insiden yang memalukan" ini.
Semuanya bermula dari "Operation Low Voltage", razia terbesar sepanjang sejarah ICE (Immigration and Customs Enforcement) yang menargetkan pabrik baterai kendaraan listrik (EV) milik Hyundai Motor dan LG Energy Solution di Ellabell, Georgia.
Sebanyak 475 pekerja ditangkap, termasuk 317 warga Korea Selatan yang dikirim sebagai teknisi dan insinyur untuk mengawasi pembangunan fasilitas ini, proyek yang disebut Gubernur Georgia Brian Kemp sebagai "peluang sekali seumur hidup" karena diproyeksikan ciptakan 8.500 lapangan kerja hingga 2031.
BACA JUGA:Rusia Siap Ratakan Musuh!
BACA JUGA:Marc Marquez di Ambang Gelar Dunia ke-7
Rekaman video ICE memperlihatkan adegan dramatis: pekerja diborgol tangan dan kaki, digiring ke bus pengangkut tahanan seperti narapidana, sementara keluarga mereka panik mencoba menghubungi.
Tak lama setelah razia, pekerja Korea Selatan memilih pulang kampung dengan pesawat carter khusus Korean Air, meninggalkan proyek dalam keadaan mandek. Hanya satu orang yang bertahan karena punya kerabat di AS.
Akibatnya, LG Energy Solution menunda operasional pabrik hingga paruh pertama 2026, dengan analis memperingatkan biaya tambahan jutaan dolar dan potensi kegagalan total fase instalasi peralatan.
Dampaknya lebih luas: Setidaknya 22 proyek pabrik Korea lainnya di AS terhenti, termasuk fasilitas semikonduktor Samsung di Texas, karena ketakutan akan razia serupa.
Di Seoul, demonstrasi meletus di depan Kedubes AS, dengan spanduk mengecam Trump sebagai "pengkhianat sekutu".
Trump, yang sempat membanggakan razia ini sebagai bagian dari janji kampanye "deportasi massal terbesar dalam sejarah AS", kini berbalik arah. Dalam pidato baru-baru ini, ia menekankan bahwa pekerja terampil asing "selamat datang" asal pulang setelah tugas selesai, dan menjanjikan visa baru untuk proyek investasi besar.
Namun, penyesalan paling eksplisit datang dari Landau saat bertemu pejabat Korea di Seoul: "Kami sangat menyesal atas insiden ini dan ingin jadikan sebagai titik balik untuk perkuat hubungan bilateral," katanya, menambahkan bahwa Trump punya "kepentingan tinggi" dalam menyelesaikan masalah ini.
Analis politik menyebut ini sebagai "pembeli's remorse" Trump, di mana prioritas deportasi bentrok langsung dengan agenda "Made in USA" yang bergantung pada investasi asing seperti dari Korea Selatan, mitra dagang kunci dengan nilai miliaran dolar.