Perkuat Pencegahan-Pengawasan Kekerasan Terhadap Anak
Hidayat Nur Wahid -Ist/Jambi Independent -Jambi Independent j
Wakil Ketua MPR RI sekaligus anggota Komisi VIII DPR RI Hidayat Nur Wahid meminta semua pihak untuk memperkuat aspek pencegahan dan pengawasan terkait kekerasan terhadap anak sehingga perundungan bisa dicegah, diatasi dan tidak terulang lagi.
"Kekerasan terhadap anak, khususnya perundungan, memang bisa dikatakan sudah darurat karena terus berulang di berbagai sekolah di berbagai daerah. Oleh karena itu, harus ada penguatan pada pengawasan di lapangan, melalui KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) dan KPAD (Komisi Perlindungan Anak Daerah), agar negara hadir pada saat gejala awal perundungan terjadi, bukan hanya ketika sudah terjadi apalagi kejadiannya semakin parah dan menimbulkan luka berat hingga kehilangan nyawa anak-anak," kata Hidayat dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.
HNW, saat akrab Hidayat, mengaku prihatin dengan terus berulangnya kasus perundungan pada anak-anak, khususnya di lingkungan sekolah, apalagi sampai Ketua DPR RI Puan Maharani menyatakan bahwa Indonesia darurat perundungan terhadap anak.
BACA JUGA:KI Pusat akan Visitasi Badan Publik, Pastikan Keterbukaan Informasi
BACA JUGA:Refly Harun Hengkang dari Forum Reformasi Polri
Dalam konteks itu, Komisi VIII DPR melalui mitra kerjanya KPAI sebagai lembaga yang dibentuk untuk mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Ia mengatakan kasus terkini perundungan di SMPN 19 Tangerang Selatan, Banten, yang mengakibatkan korban anak (MH, 13 tahun) meninggal dunia terjadi karena pembiaran berbulan-bulan, dari awalnya perundungan verbal, lalu fisik dengan tonjokan, hingga akhirnya penggunaan benda berbahaya, seperti kursi besi.
Menurut HNW, pihak sekolah dan pemerintah seharusnya hadir melakukan intervensi sejak perundungan awal terjadi. KPAI di tingkat nasional maupun KPAD di level daerah turun mendampingi korban dan mengedukasi siswa dan orang tua yang diduga pelaku perundungan sehingga tindakan yang lebih parah bisa dicegah.
"Misalnya, ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, jelas menyebutkan bahwa setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain," ujarnya.
Oleh karena itu, HNW berkali-kali mendorong penguatan kewenangan dan anggaran bagi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) dan KPAI agar fungsi tersebut bisa dijalankan dengan optimal.
Pada tahun 2025, Kementerian PPPA memiliki anggaran Rp300,5 miliar, sementara KPAI menerima anggaran Rp17 miliar. Namun, pada 2026, anggaran kedua lembaga malah turun drastis menjadi tinggal Rp214,1 miliar untuk Kementerian PPPA dan Rp5,7 miliar untuk KPAI.
Padahal, Kementerian PPPA adalah lembaga negara yang spesifik disebut terkait perlindungan anak dan KPAI lembaga yang dibentuk langsung oleh undang-undang sejak Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak, dan terus dilanjutkan pada perubahannya di Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, serta diangkat langsung oleh presiden.
"Penguatan pencegahan dan pengawasan yang harusnya dilakukan oleh semua pihak terkait, semakin urgen, di tengah kondisi darurat kekerasan terhadap anak, di mana bentuknya bukan hanya perundungan, tetapi juga kekerasan seksual dan kejahatan daring seperti pornografi dan TPPO. Semoga dengan meningkatnya awareness kedaruratan ini, apalagi Presiden Prabowo juga sudah merespons, ada afirmasi terhadap lembaga pencegahan dan pengawasan, khususnya dalam konteks kami di Komisi VIII melalui penguatan kewenangan dan anggaran bagi Kementerian PPPA dan KPAI," kata HNW.
Adapun terkait penguatan regulasi, HNW berharap pelaksanaan maksimal Undang-Undang Perlindungan Anak juga mekanisme pencegahannya bisa dimasukkan ke Revisi Undang-Undang Sisdiknas yang saat ini sedang berlangsung di DPR dan sudah masuk Prolegnas Prioritas 2026.