Refly Harun Hengkang dari Forum Reformasi Polri
Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun.-Ist/Jambi Independent -Jambi Independent j
JAKARTA - Pakar hukum tata negara Refly Harun bersama sejumlah perwakilan masyarakat sipil melakukan walkout dari audiensi dengan Komisi Percepatan Reformasi Polri di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Jakarta, Rabu (19/11) lalu.
Aksi tersebut dilakukan sebagai bentuk protes terhadap pembatasan kehadiran beberapa peserta yang sebelumnya tercantum dalam undangan resmi.
Refly menjelaskan bahwa keputusan walkout diambil setelah panitia menolak kehadiran tiga peserta berstatus tersangka, yakni Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan Tifauziah Tyassuma (Tifa). Penolakan itu disampaikan oleh pihak komisi.
“Langkah tegasnya memang kami walk out karena kan ada 18 orang yang tertera dalam undangan yang kami ajukan. Ini mereka mengundang kita, Refly Harun dan kawan-kawan, kemudian ada 18 orang yang namanya dicatatkan untuk diundang,” ujarnya.
BACA JUGA:KPK Serahkan Rp 883 M kepada PT Taspen, Hasil Rampasan Kasus Korupsi Taspen
BACA JUGA:Sekda Sudirman Tekankan Peran Pramuka, Dalam Pembentukan Karakter Pemuda
Menurut Refly, keberatan panitia diperkuat oleh pendapat mantan Kapolri Idham Azis yang berada dalam tim.
“Dan rupanya ada keberatan dari tim, yang diperkuat mantan Kapolri Idham Azis, yang mengatakan kalau tersangka tidak boleh ikut. Opsinya keluar, ada juga opsi duduk di belakang tapi tidak ngomong. Tadi berdasarkan solidaritas kita, kalau RRT keluar, maka kita keluar,” kata Refly.
Ia menegaskan bahwa walkout merupakan bentuk solidaritas sekaligus penolakan terhadap perlakuan yang dianggap tidak adil.
“Ini menunjukkan solidaritas terhadap kasus ini. Memang pertemuan ini tidak eksklusif soal RRT atau soal ijazah palsu, ada juga tema-tema lainnya karena ada purnawirawan TNI. Tapi kita tahu pemain isu belakangan ini adalah mereka dan ini kita bicara soal reformasi Polri,” jelasnya.
Refly juga menilai bahwa persoalan hukum yang menjerat beberapa peserta merupakan bentuk kriminalisasi terhadap kebebasan berpendapat. “Keyakinan kita adalah kasus ini adalah kriminalisasi, karena itu saya kira layak untuk didiskusikan, disampaikan aspirasinya kepada pihak kepolisian. Kok di tengah adanya gelombang untuk adanya reformasi masih ada kasus-kasus seperti ini,” tambahnya.
Ia turut mengkritik praktik pemidanaan terhadap ekspresi dan penelitian.
“Negara yang mentersangkakan atau mempidanakan orang berpendapat, apalagi dengan penelitian dan lain sebagainya, itu negara yang demokrasinya sontoloyo. Indonesia kan tidak ingin seperti itu harusnya, Indonesia harus naik kelas menjadi negara demokrasi yang substantif,” tegasnya.
Refly menegaskan bahwa walkout ini merupakan sinyal penting bagi institusi negara.