Hal lain yang perlu diperhatikan adalah persepsi keliru bahwa gentle parenting berarti membebaskan anak sepenuhnya tanpa batasan. Padahal, hal ini tetap melibatkan batas yang jelas, tapi disampaikan dengan cara yang menghormati perasaan anak.
Misalnya, mengatakan “Ibu tahu kamu kecewa, tapi kita tetap tidak boleh melempar mainan,” jauh lebih efektif daripada langsung memarahi.
Kesalahpahaman seperti ini kerap membuat gentle parenting disalahartikan sebagai pola asuh permisif. Padahal, kunci dari pendekatan ini adalah keseimbangan antara empati dan ketegasan.
Berbagai sumber belajar kini tersedia, mulai dari buku, podcast, hingga komunitas parenting yang saling mendukung. Namun, yang paling penting adalah kemampuan orang tua untuk menerima bahwa tidak ada pola asuh yang sempurna.
Gentle parenting bukan tentang menjadi orang tua baik setiap saat, melainkan tentang berusaha membangun hubungan yang sehat dengan anak melalui proses yang penuh kesadaran tanpa beban dan tekanan yang dirasakan.
Gentle parenting bisa menjadi langkah penting menuju generasi yang lebih sehat secara emosional, asalkan diterapkan dengan baik dan tidak berlebihan.
Dengan niat yang kuat dan kemauan untuk terus belajar, setiap orang tua bisa menciptakan ruang yang aman dan hangat bagi anaknya tumbuh dan berkembang. (*)