Dari hasil observasi diketahui tentang lanskap linguistik di wilayah perkotaan Atambua, Kefamenanu, wilayah pedesaan, dan pos lintas batas di kedua kabupaten tersebut tidak menunjukkan adanya indikasi akomodasi terhadap bahasa resmi Timor Leste.
BACA JUGA:Mengenal Tri Hari Suci, Jelang Perayaan Hari Paskah di Kota Jambi
BACA JUGA:Bawaslu: Penanganan Pidana Pemilu Perlu Dievaluasi
Konteks sosiolinguistik menunjukkan bahwa proses perubahan akan sangat bergantung pada pengaruh aspek sosial, politik, dan ekonomi, namun peluangnya sangat kecil. Pengamatan di kawasan perbatasan menunjukkan bahwa pelayanan pada dua kantor imigrasi tersebut menggunakan bahasa Indonesia.
BRIN mengungkap bahasa nasional Timor Leste tidak memberikan pengaruh yang signifikan untuk digunakan di ruang publik Indonesia karena masyarakat Timor Leste fasih berbahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia dipandang sebagai lingua franca yang mampu mengakomodasi semua kepentingan. Bahasa asing yang muncul adalah bahasa Inggris dan juga Arab (dalam jumlah yang tidak banyak), selain bahasa-bahasa daerah yang ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit.
"Penggunaan bahasa-bahasa daerah sangat sedikit penggunaannya, biasanya hanya dalam percakapan keluarga saja atau dalam ritual lisan adat,” papar Budi.
BACA JUGA:Diisi dengan Kegiatan Spiritualitas, Kegiatan di SDN 02/IV Pasar Jambi Selama Bulan Suci Ramadan
BACA JUGA:Fraksi PKS: Israel Harus Patuhi Resolusi Gencatan Senjata DK PBB
Adapun kehadiran bahasa Tetun, meski merupakan bahasa resmi di Timor Leste, tidak dianggap sebagai bahasa asing di wilayah perbatasan karena merupakan bahasa daerah bagi sebagian masyarakat etnis Tetun di Indonesia. Hal itu menunjukkan bahwa kontak bahasa antara kedua negara tidak mengancam identitas budaya masing-masing. (*)