Tantangan Panglima TNI: Interoperabilitas, Sinergisitas, Netralitas

Selasa 14 Nov 2023 - 21:12 WIB
Reporter : Jambi Independent
Editor : Jambi Independent

JAKARTA - Militerisasi kawasan Indo-Pasifik tak kunjung reda. Bahkan, kian hari kian memanas. Konflik Israel-Palestina memicu permasalahan ideologis di Indonesia. Di dalam negeri, saat ini TNI masih berjibaku untuk mengatasi situasi di Papua dan berperan aktif dalam mengawal Pemilu 2024. Tantangan ini membutuhkan kemampuan interoperabilitas, sinergisitas, dan netralitas TNI untuk menjawabnya.

Perang Rusia-Ukraina memang berdampak secara politik dan ekonomi, tapi tidak berdampak secara signifikan terhadap ideologi di dalam negeri, sebab hubungan Rusia dan komunisme telah berakhir.

Berbeda halnya dengan konflik Israel-Palestina yang selalu menjadi momentum oleh kelompok tertentu di dalam negeri untuk membangun propaganda yang mengakibatkan konflik ini dengan isu agama. Momentum ini selalu dijadikan wahana kampanye mereka.

Di sisi lain, fenomena perang global telah mendorong peningkatan militerisasi kawasan Indo Pasifik. Di tengah konflik Rusia-Ukraina dan Israel-Palestina, kawasan ini seolah hendak dijadikan battleground oleh negara-negara Adikuasa, terutama Amerika dan China.

BACA JUGA:Arah Jaran

Geopolitik di Indo Pasifik titik pandangnya dimulai dari Masalah Taiwan. Beijing memandang Taipei sebagai kelompok separatis yang harus dianeksasi ke daratan. Ketegangan politik yang melibatkan militer antara kedua negara tersebut berlangsung hingga sekarang. Pada September lalu, 100 pesawat tempur milik China terbang di dekat Taiwan dalam kurun waktu 24 jam sebagai bentuk psywar.

Sejak 2014 klaim China terhadap Laut China Selatan (LCS) dan Sembilan Garis Putus-putus belum terlihat ujung penyelesaiannya. Beijing memiliki berbagai klaim atas laut ini, yang meresahkan Filipina, Australia, Brunei, Indonesia, Malaysia, Vietnam, Malaysia, Vietnam, dan Taiwan.

Meskipun ada seruan untuk mematuhi hukum internasional dan hukum laut, ketegangan masih tetap tinggi. Bulan Oktober lalu, tabrakan kapal China dan Filipina di Kepulauan Spratly menyebabkan ketegangan yang terus berlanjut.

Sementara itu, dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) pada Agustus 2023 lalu, di retret kepresidenan AS, Maryland, pertemuan mandiri pertama antara AS dan Jepang dan Korea Selatan dalam bidang militer untuk mengatasi ancaman nuklir yang ditimbulkan oleh Korea Utara dan pembendungan Tiongkok. Sebelum KTT, Beijing semakin khawatir dengan kerja sama ini karena dapat meningkatkan ketegangan dan konfrontasi di kawasan.

BACA JUGA:Usulan Biaya Haji Lebih Tinggi Karena Kenaikan Kurs dan Layanan

Ancaman nuklir Korea Utara menimbulkan kekhawatiran keamanan regional dan global yang signifikan. Pyongyang cukup sering melakukan uji coba rudal balistik antarbenua (ICBM) dan nuklir. Pada 2022 Korea Utara paling banyak melakukan uji coba semacam itu. Dalam kerangka persepsi ancaman yang sama, AS, Korea Selatan, dan Jepang bersama-sama menyelenggarakan latihan melawan Korea Utara. Namun, latihan ini tampaknya tidak menghalangi Pyongyang, sebaliknya, mereka tampaknya semakin memprovokasi Korea Utara.

Persekutuan militer antarnegara di kawasan Indo-Pasifik mengalami penguatan yang signifikan. Ada AUKUS (Australia, Inggris, dan US), FPDA (Five Power Defence Arrangements) yang beranggotakan negara persemakmuran Inggris, yaitu Australia, Inggris, Singapura, Malaysia, dan New Zealand, dan Dialog Keamanan Segiempat (QUAD) dengan India, Jepang, Amerika Serikat, dan Australia sebagai anggotanya.

Di dalam negeri, isu separatisme Papua masih mengemuka. Gerakan separatisme di Papua pada kenyataannya tidak tunggal, meskipun seringkali disebut dengan istilah umum Organisasi Papua Merdeka (OPM). Ada sejumlah organisasi separatisme, seperti Komite Nasional Papua Barat (KNPB), dan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).

Saat ini kelompok ini disebut Kelompok Separatis Papua (KSP). Saat mereka melakukan kekerasan dengan menggunakan senjata yang mematikan (lethal), maka disebut sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).

BACA JUGA:Usulan Biaya Haji Lebih Tinggi Karena Kenaikan Kurs dan Layanan

Separatisme bersenjata OPM pecah untuk pertama kalinya pada 26 Juli 1965 di Manokwari. Pada 1977 OPM memprotes Freeport, 60 orang suku Amungme menjadi korban. Gerakan ini terus bermunculan hingga sekarang. Bulan Desember adalah momentum yang seringkali digunakan oleh para separatis untuk memperoleh publikasi internasional. Korbannya tidak hanya sipil, tapi juga aparat TNI dan Kepolisian.

Upaya untuk mencari titik temu terus dilakukan, baik melalui jalan dialog, diplomasi internasional maupun penyelesaian masalah melalui kebijakan pembangunan, seperti Otonomi Khusus, tapi tampaknya berbagai upaya itu belum mampu membuat KKB berhenti beraksi.

Sementara itu, Pemilu 2024 tampaknya juga semakin intensif setelah penetapan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden dan masa kampanye. Penangkapan 40 orang terduga teroris oleh Densus 88 pada awal November lalu menunjukkan betapa momentum pemilu memang dijadikan sasaran oleh kelompok yang mengajarkan radikalisme untuk mempromosikan ajaran mereka.

Badan Sandi dan Siber Negara (BSSN) merilis ancaman siber yang dikategorikan dalam ancaman sosial dan ancaman teknis. Ancaman sosial berupa munculnya hoaks dan disinformasi dengan tujuan untuk propaganda dan agitasi yang menyerang salah satu pasangan capres-cawapres sebagai simbol lawan dari ideologi radikal. Maka isu-isu "anti Islam", misalnya, pasti akan muncul. Di satu sisi isu ini membunuh karakter lawan, namun di sisi lain mengarahkan orang-orang untuk merujuk pada satu pemahaman Islam yang radikal.

BACA JUGA:BKSDA Jambi Ungkap Tiga Kasus Perdagangan Kulit Harimau Sumatera

Secara teknis, serangan seperti kebocoran data atau data breach, serangan ransomware, dan banyaknya aksi, seperti web defacement dan sejenisnya, akan tetap menjadi tren pada Pemilu 2024. Tujuannya, tidak lain dan tidak bukan, adalah untuk merepotkan para aktor dan memperoleh uang.

Kawasan Asia-Pasifik diwarnai dengan banyak permasalahan. Kawasan Indo-Pasifik akan menjadi pusat perebutan pengaruh antara AS dan Tiongkok. Disusul dengan permasalahan Papua dan Pemilu 2024, menuntut TNI untuk menjawabnya dengan interoperabilitas, sinergisitas, dan netralitas.

Interoperabilitas menggambarkan kesiapan TNI sebagai satu kesatuan lintas matra dalam teknologi alat utama sistem senjata (Alutsista). Antara satu peralatan perang dengan peralatan lainnya terhubung, baik alatnya maupun operatornya, sehingga ancaman yang muncul dari luar dapat dihalau dengan lebih terkoordinasi yang berdampak.

Untuk membangun interoperabilitas lintas matra dalam TNI, selain membutuhkan peralatan yang canggih, tersinkronisasi, juga membutuhkan kualitas SDM yang tinggi. Beruntungnya, Indonesia telah mampu membangun industri pertahanannya sendiri. Kerja sama dengan militer negara-negara lain dalam pengembangan alutsista semakin meningkatkan inovasi teknologi militer.

BACA JUGA:Keluar Lapas, Langsung Ditangkap Lagi

Pekerjaan rumah Panglima TNI terpilih kemudian adalah bagaimana membangun kebijakan yang lebih mendukung terhadap bangunan interoperabilitas yang sudah ada melalui doktrin militer, pengembangan SDM, dukungan kesejahteraan tentara, dan pengawasan yang maksimal.

Kemudian, sinergisitas menggambarkan bagaimana TNI bisa semakin luwes berkolaborasi dengan aktor negara di dalam negeri dalam rangka membangun pertahanan. Pemangku kepentingan utama, dalam hal ini Kementerian Pertahanan, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Dalam Negeri, dan Kepolisian Republik Indonesi (Polri), sudah seharusnya menjadi mitra dari TNI. Karena keempat institusi itu memiliki irisan kewenangan dengan TNI.

Dalam konteks Pemilu 2024, selain keempat institusi di atas, kolaborasi dengan penyelenggara pemilu, yaitu KPU dan Bawaslu, perlu dilakukan untuk mengetahui titik-titik rawan pemilu 2024. Dalam Indeks Kerawanan Pemilu 2024, Bawaslu merilis 10 daerah paling rawan, yaitu DKI Jakarta, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Jawa Barat, Kalimantan Timur, Banten, Lampung, Riau, Papua, dan NTT.

Sementara, netralitas menggambarkan TNI sebagai institusi negara tidak berpihak kepada siapapun dalam konteks politik. Netralitas menunjukkan bahwa TNI adalah alat negara, bukan alat politik. TNI melayani negara dan seluruh rakyat, bukan melayani kelompok politik tertentu. Netralitas menjadi landasan utama TNI dalam membangun profesionalismenya.

BACA JUGA:KPK ke Merangin, Pj Bupati dan Sekda ke Luar Daerah

Meski demikian, garis netralitas ini sering kali diperebutkan oleh berbagai kelompok politik, baik yang sedang berkuasa maupun yang di luar kekuasaan. Ini membutuhkan keteguhan hati dan sikap tegas dari pemimpin tertinggi di TNI, yaitu Panglima TNI, untuk tetap berpegang pada amanah negara yang dituangkan dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.

Visi PRIMA (profesional, responsif, integratif, modern, dan adaptif) yang dipresentasikan Panglima TNI terpilih di hadapan Komisi I DPR RI tampaknya cukup menjawab kebutuhan interoperabilitas, sinergisitas, dan netralitas TNI dalam menghadapi dinamika lingkungan strategis.

Pada akhirnya, sedinamis apapun perkembangan lingkungan strategis, hal yang paling penting bagi TNI, selayak alat pertahanan negara, adalah bagaimana merespons perkembangan tersebut dengan persiapan-persiapan yang terukur dan terencana, sehingga saat ancaman itu aktual, maka dengan sumber daya yang ada, TNI bisa menghalaunya dengan mudah. Selamat bertugas, Panglima TNI terpilih!

*) Ngasiman Djoyonegoro adalah Analis Pertahanan, Keamanan dan Intelijen; Rektor Institut Sains dan Teknologi Al-Kamal (ANTARA)

Tags :
Kategori :

Terkait