Wanita Global

Disway--


"Sampai ketemu di Hartford nanti malam," kata Prof Dini.
Mbak Sri dan suami mengantar saya ke stasiun. Mobilnya Volvo. Masih agak baru. Sudah puluhan tahun saya tidak naik Volvo.
"Ini sudah jadi mobil China," ujar sang suami. Perusahaan mobil Swedia terkemuka ini memang sudah dibeli Tiongkok.


Naik kereta api dari New Haven ke Hartford seperti dari Solo ke Yogyakarta. Keretanya lambat. Berhenti banyak kali. Jarak 80 km ditempuh dalam satu jam.
Caranya juga masih sangat kuno: kondektur mendatangi setiap penumpang. Setelah memeriksa tiket dia menempelkan kertas di atas tempat duduk. Itu tanda penumpang di kursi itu turun di stasiun mana.
Setiap kereta akan berhenti dia datangi penumpang di bawah kertas tempel itu. Waktunya turun. Lalu kertas yang dia tempelkan itu diambil.


Pun ketika kereta akan berhenti di stasiun Hartford. Dia datangi saya. "Di sini Anda turun", katanyi. Lalu mencopot tempelan kertas di atas kepala saya.
Di Hartford saya bertemu wanita istimewa lainnya. Nisa. Pakai jilbab hitam. Asal Bontang, Kaltim. Masa kecilnya di Gang Alwi, Samarinda, tidak jauh dari rumah istri saya.


Nisa bisa berbahasa Banjar dan mengerti bahasa Bugis. Orang tuanya campuran Banjar-Bugis. Dia sudah lebih 10 tahun di Hartford --setelah pindah dari New York.
Suami Nisa dari Turkiye. Kampung suaminya di satu jam naik pesawat dari Istambul, ke arah Asia. Sang suami pengusaha bidang logistik.


"Di mana ketemu suami?"
"Di online."
"Saat Anda masih tinggal di Bontang?”
"Iya. Saat masih di Bontang."


Nisa punya anak satu. Cewek. Menjelang remaja. Cantik sekali.
Di Chicago ketemu satu wanita Indonesia lagi yang bersuamikan bule: Mayasari. Rumahnyi di Greenburg, Indiana. Di situ Maya buka restoran Indonesia. Juga mendirikan pabrik tempe.


Cita-cita Maya: pabrik tempenyi itu akan menggunakan artificial intelligent (AI). Maya memang ambil computer science saat kuliah di Purdue University, Indiana.
Sang suami orang pedalaman Indiana. "Petani," kata Maya yang selalu merasa sebagai orang Bogor. Bapaknyi Sunda, ibunyi Sangihe.

BACA JUGA:'Adu Kambing' Sopir Luka-Luka

BACA JUGA:Menunggu Penyelesaian 2 Proyek Multiyears


Sang ayah pernah jadi kapolres Bogor. Sawah milik sang suami biasa-biasa saja luasnya: hampir 1000 hektare.
Maya mendapat penghargaan dari Pemda setempat. Pabrik tempenyi dianggap bisa menaikkan nilai tambah produk kedelai lokal.


Di kampung suaminyi itu mayoritas petani menanam kedelai. Nilai kedelai pasti naik kalau bisa jadi tempe. Maya pun dapat dana untuk pengembangan tempe.
Maya juga sudah mematenkan proses pembuatan tempe di Amerika. Termasuk teknik memproses air kran agar memenuhi syarat sebagai air yang bisa dipakai untuk membuat tempe.


Sang suami menanam kedelai, Maya hilirisasi kedelai. "Tempe bisa untuk toping mie goreng Indomie," ujar Maya.
Itulah salah satu menu yang laris di resto "Mayasari" di Indiana.
Wanita Indonesia ternyata banyak juga yang pilih go global.(Dahlan Iskan)

Tag
Share